09/12/2020

Heavy Rotation

 Look no further

We won't be seeing each other in the future

Soon you'll forget the name of my mother

And I'll lose the memory of being your soother


Hands might mingle

But hearts remain single

It was deeper than your dimples

Yet we itch for nothing but being simple


Is it meant to be?

Perhaps if it's not too hazy

Or if we learn to stop being greedy

It is not,

                maybe.

26/10/2020

Sungkawa

Tak ada yang tahu ke mana ia pergi, atau di mana ia berada sekarang. Seribu dua ratus delapan belas hari sudah berlalu. Tentu akan lebih mudah jika menganggap dirinya telah dijemput oleh Yang Kuasa. Mungkin begitu untuk orang yang tak ingin banyak bergumul. Namun tidak bagimu. Khususnya bagi dirimu.

Kau terduduk dalam balutan busana hitam, dengan peluk yang sudah terganti dengan rasa yang pelik. Layaknya umat yang taat, mulutmu ikut berkomat-kamit dalam bahasa yang tak kau pahami betul. Jauh dalam dirimu kau tahu, semua hal ini tak akan membuatnya kembali. Ini hanya akan menyibak kembali luka dan sedih yang sudah lalu dan tak mau berlalu; layaknya mencari sajam di semak-semak belukar.

Sekumpulan orang mulai berhambur angkat kaki. Mereka yang bertahan tentunya berbisik dengan menyisipkan namamu di dalamnya. Tak dapat dielak bahwa kau akan selalu menjadi yang terduga, walau tak ada seorangpun—bahkan dirimu—yang tahu apa yang benar-benar benar. Mereka mungkin saja sesat, tetapi prasangka mereka bisa saja akurat.

Kau masih membawa seikat pilu di tanganmu. Rasanya tak tega membuang semua itu begitu saja, meski tak ada gunanya pula membawanya ke manapun kau pergi. Hal itu hanya akan memberatkan langkahmu untuk bertolak. Hal itu hanya akan memberatkan tanganmu untuk melepasnya. Semua hal ini hanya akan merisakmu untuk enggan terbangun di esok hari.

Sebenarnya, kau hanya berharap surat kematian itu hinggap di tanganmu. Entah bertuliskan namanya yang pergi, atau namamu yang lebih memilih mati. Kau ingin sosokmu tak lagi dikenal bayang. Walakin kau tak ingin bertemu abadi, karena selamanya rasanya benar-benar terlalu lama. Nafasmu tersengal, lalu terdesah. Hidup dan semesta tampaknya tak tercipta untuk semua.

04/10/2020

Rintik

Dahulu kita hanya hanya dapat bersua di penggalan tahun. Kadang lebih dari itu, jika aku beruntung. Namun sekarang rasanya tak ada yang pasti lagi, dan aku tak tahu harus merasa bahagia atau merana karena itu.

Tak semua orang menyukaimu. Mungkin kau tak mawas dengan hal itu (atau memilih untuk tak peduli, seperti biasanya). Aku diam-diam tahu karena aku sering menyaksikan bagaimana raut mereka terkeluk sesaat setelah kau hadir di hadapan mereka. Terlebih jika kau datang tanpa permisi. Kadang aku harus meminta maaf akan sikapmu yang seperti itu. Nampaknya kau harus lebih mendalami sopan santun dan tata krama.

Sebenarnya aku mengerti mengapa mereka bertingkah seperti itu. Mereka tak suka jika hari-harinya kau usik karena akuilah, entah hadirmu hanya sekadar singgah, atau menetap sampai larut, pasti ada saja petaka yang kau bawa untuk mereka. Terkadang aku juga mengalami hal yang sama. Walau begitu, rasa cintaku ini masih sama saja. Mungkin benar yang orang katakan; cinta itu buta, dan mungkin sedikit dungu.

Terkadang cintaku padamu dipertanyakan validasinya. Tentu oleh insan-insan yang tak menyukaimu. Mereka tak habis pikir, bagaimana aku masih tetap mencintaimu disaat dirimu merusak apa yang aku kenakan. Aku bilang, “Tak apa. Kulitku ini jarang tersentuh oleh apapun dan siapapun. Rasanya agak kesepian, dan sentuhannya benar-benar membuatku merasa tidak sendiri.” Aku meninggalkan bagian bagaimana kau sering menutupi air mataku. Rasanya terlalu sentimental untuk dibagi.

Kemudian mereka kembali bertanya, “Jika kau benar-benar mencintainya, lalu mengapa masih melindungi dirimu dari dirinya?” Aku terdiam; tidak mau munafik bahwa dalam hari-hari tertentu, aku mengurungkan niat untuk bertemu denganmu, bahkan sangat amat melindungi diriku dari sentuhanmu. Alasanku sebenarnya sama dengan orang-orang yang tak menyukaimu. Terkadang aku tak ingin kau menghancurkanku. Tubuhku sering tak sanggup menghadapimu.  Itu sebabnya aku mengerti mengapa mereka tak menyukaimu.

Aku masih mencintaimu. Bagaimana aku tidak? Bahagiaku sering datang bersamamu. Senduku reda karenamu. Namun tampaknya aku tak bisa benar-benar mencintaimu secara utuh.

07/09/2020

Vacant Clean

As he finished his rent

He seeks for a new place to dwell

Though there are infinite reasons for him to stay

His tattered heart would not care to listen


He runs from room to room

To find a place with troublesome fears

For it is the only way

It could feels like home


So now my mind feels vacant

While I weep for another departure

But I would no longer be surprised

For I could see it wrecked right before my eyes

22/08/2020

Sambat di Ujung Malam

Tak ada yang patut disalahkan. Siapapun dan apapun yang berada di hadapan jari telunjukmu juga menyimpan raut yang sama denganmu. Jika ingin menyalahkan, mungkin sudah sepantasnya menghardik mereka yang tak sampai hati menaruh kakinya dalam tapak orang lain. Tetapi tak perlu menggubris orang-orang itu. Pada akhirnya mereka akan merintih dalam nelangsa yang mereka cipta sendiri.

Nampaknya, tak ada lagi yang sanggup menangis dan terisak. Hanya tersisa jengah dan gusar yang tak henti-hentinya bermain di dalam kepalamu. Doa pun terkesan percuma. Kematian pun tidak begitu terasa sengsara lagi. Mungkin dunia sudah menjadi gila. Namun kita yang hidup di dalamnya memang utamanya tidak pernah benar-benar waras. 

Halfway Free

My words won't come clean

If I keep on letting you win

As a lionheart, as the sun

As the wonders that collide into one


So my words will go dirty

Or vicious, you tell me

My heart is mangled, it bleeds

But at last it could declare what it pleads

Eventide

It's three in the morning and 'Liability' by Lorde is echoing in my room on perpetual loop. I never felt so understood as a lover, a woman, and a human with any other songs before. It's true; I yearn to disappear into the sun, along with these elusive feelings inside my chest. It's been tailing me for awhile now, makes breathing feels like a mare. My wounds weep. Yet my gut feeling convinced that tomorrow might be the someday I've been waiting for. But look who's fooling herself everyday.

The medicine will put me to sleep faster than the speed of sound. The vagaries of my thoughts will unravels and falls into disarray. It will make them stop bickering with each other. Instead, they will walk side by side like an old enemy turning into a friend. It will eventually put me at ease, forcing me to make peace with my inner turmoil, even put me in the throne as their ruler. At least for tonight. 

19/04/2020

Sementara

Nama lelaki itu Lintang. Ia selalu merasa nama yang tersemat di dirinya sebagai suatu darma yang berat untuk ditunaikan. Ibundanya berharap ia menjadi suluh bagi hari-hari yang muram dan jiwa-jiwa yang tersesat. Namun sejujurnya, untuk menjadi bintang di malam kelam untuk dirinya saja masih sukar untuk ia lakukan.

Tuhan tak pernah tahu namanya. Ia biasa memanggilnya dengan adzan subuh. Lintang tak pernah menjadi umat yang taat. Tetapi fajar untuknya selalu menjadi waktu yang menyimpan suasana mistik; saat yang tepat baginya untuk menengadah tangan dan merawi kepada Sang Kuasa.

Namun fajar kali ini berbeda. Panggilan dari Tuhan tak ia gubris sedikitpun. Ayam jago yang sudah berkokok 12 kali pun ia elakkan. Dua bola matanya masih terbalut ria, tak kenal lagi dengan kantuk. Ia menatap gambaran seorang anak Hawa yang sedang sibuk menceritakan sebuah buku yang baru saja ia tuntaskan. Lintang tentunya sudah menamatkan buku itu berkali-kali. Tetapi dirinya tak keberatan mendengarkan ceritanya sekali lagi, jika yang bercerita adalah perempuan itu. Ia menemukan teman untuk berbagi selain pada Penciptanya.

Dua jarum di dinding kamarnya sudah tak kenal lagi gravitasi. Lintang tahu ia tak bisa mengandalkan waktu untuk mengakhiri ini. Surga yang semu ini harus selesai. Ia mengucap salam dan berjanji untuk bertemu lagi, apapun artinya itu.  Namun matanya tak mampu terpejam. Ia merasa abadi tanpa kehadiran kekal di sampingnya.

22/03/2020

Kandas

Masih membekas di dalam sanubari
Bagaimana kalbuku menyentuh kalbumu
Dalam sebuah temu tatap mata 
Yang tak tertera di kalender rumahmu

Sang waktu sudah melambat
Bahu membahu membantu angan
Melupa ia yang nafasnya kupenggal
Untuk nirwana yang tak seberapa

Untuk hati yang semakin berjarak
Terlampau terlambat untuk menyasap
Belati yang terlanjur tertambat di rangka
Semua sudah sirna

12/03/2020

Goner

I am less and less of a human
The broken mirror discerns no soul
But a walking living bruises and afflictions

My poems gradually turning into suicide notes
Well, perhaps they are
And there is no other way to tell
Except that I am only halfway home

29/02/2020

Hujan di Tengah Kemarau

Kopi hitam di hadapanku merengek mengharap perhatianku. Sesekali kuaduk hingga isinya meruah. Tak apa, curahannya tak sampai mengotori taplak meja. Tujuanku ke sini bukan untuk menyesap minuman kesukaanku.

Hari ini ia minta bertatap pukul 5. Aku tidak menolak; tidak mau munafik bahwa aku juga merindu. Jarum menit di arlojiku memberitahuku bahwa ia terlambat 28 menit. Cuaca hari ini sedang baik. Mungkin lalu-lintas saja yang sedang tak apik. Alih-alih bersungut dan angkat kaki, aku melempar pandangan ke hal lain untuk mengulur waktu. Aku benar-benar ingin bersua.

Usia kami terpaut jauh. Namun entah apa yang membuat percakapan antara kami mengalir tanpa rintangan. Mungkin aku dapat merasuk ke labirin di dalam dirinya. Mungkin juga sebaliknya.

Tak lama ia datang dengan koper kecil dalam jinjingannya. Peluh mengalir di durjanya. Senyumnya tersugging, peliknya sirna tak kasat mata. Tentunya ia meminta maaf karena datang terlambat. Dan tentunya aku menerima maafnya karena sejujurnya aku tak peduli. Raganya sudah hadir merengkuh jiwaku.

Kami membasuh; saling mengobati rindu yang meradang di kalbu. Mataku sebak dibuatnya. Tak paham bagaimana cara dirinya mencipta teduh di tengah kalut. Tetapi semua ini terbilang semu. Kami berdua tahu, pada akhirnya hari akan terlampau malam, sigaret di atas meja kami akan menjadi nihil, dan Cafe Batavia akan menyudahi harinya.

Malam ini akan sama dengan malam-malam lainnya. Kami akan memberikan kecupan sebagai buah tangan sebelum berparak dan menutup hari. Ia akan berkata bahwa jika mampu ia menggugus bintang lebih lama lagi untuk bersemuka, jika harus mendaga jagad, maka tentu akan ia tunaikan. Namun sama seperti malam-malam lainnya, langkahnya akan bergegas melaju menguntal janggal. Kami berdua tahu, ada bani Hawa yang risau yang sedang menanti raganya kembali.

16/02/2020

Tergamam

Puan di ujung malam mengulum prahara
Berdzikir ingin mengubah takdir
Atau hanya menggumuli kemelut hati
Remang melahap setiap potongannya
Sebelum sisa-sisanya dimuntahkan
Lalu dituntut untuk merengkuh rasa
//
Mau dibawa ke mana amarah dirinya?
Rasa bersalah dalam benaknya
Perlu tempat untuk merumah
Di manapun, apapun kecuali dirinya
Di semesta atau kembali ke Pencipta
//
Munajat yang tak kunjung mangkus
Dimaklumi sebagai kurang-Nya
Barangkali tangan-Nya tak cukup besar
Mendekap seluruh bani di muka semesta
//
Tetapi puan hanya keliru
Tuhan hanya sedang menjadi pengampu
Tentang bagaimana memeluk tanpa terkeluk

11/02/2020

Tempest

The rain did pour today. The weather forecast turned out to be accurate. But frankly, checking it wouldn’t be necessary. I already figured the drizzle would fall upon my head and made my hair damp.


I’ve been holding it since I shifted from my long slumber. My chest feels sore, my throat ached, as if there’s some form of whimsical feeling that needed to be released. Perhaps it grew tired of hiding behind the smile and hilarity.

And it happened. The tears seeps out to my cheeks whilst the rain descends helplessly on my roof. Breathing becomes an arduous thing to do. I didn’t put it in halt. Letting it show its brittle shape.

I always believe that we human are a fragment of something so tremendous. A collection of puzzle pieces that complete each other when they perfectly arranged. It might disclosed why the weather and I move in sync.

But perhaps it was because the rain season prompted the air drops to fall.

Maybe human ceaselessly disheartened me to the point where my heart is too jaded to cradle the anguish.

Still and all, I regard, the possibility is there.

01/02/2020

Insomniac Dreamer

Ever since I was a little girl, I have always been the person who finds falling asleep is a difficult thing to do. A night owl, they would say. Sounds very enchanting but in reality, it’s far than that. Knowing your body is weary but your head never stops doing mind-tricks to you is burdensome. Formerly I assumed it was the side effect of moving from one place to another too often, since my family grew fond of changing their environment. But it wasn’t it. I didn’t want to claim to have any form of sleeping disorder. All I know was I had to have a good night sleep for I had to go to school in the morning after. It wasn’t something that I pleased to exercise, to be quite fair. But I knew that just simply putting my uniform in the dawn would help to put a smile on my parents’ faces. So that was what I did.

I was determined to find any ways to help me with my sleeping problems. That was the time I discovered yoga and started doing it every afternoon. I got hooked in aromatherapy candles and teas. Most of the time it’s chamomile, but sometimes it’s lemon balm, or lapsang souchong. I discovered sounds that could alleviate my complication. One of it is Symphonies of the Planets by NASA; a quite long recording of the sound of each planets in the solar system. If you gave it a listen, you might say that it was eerie and bewildering. But that, along with the rest, helped me sometimes. That was before I prescribed myself with sleeping pills.

My parents despised the fact that their youngest daughter depend her sanity to sleeping pills. But one thing that my parents didn’t notice (and I assured not to tell them) was the fact that sleeping pills has rested the ceiling on my bedroom. I was pretty convinced it grew stale of seeing me tossing my body from one side to another. Another thing about it was it helped me to calm the endless tidal waves inside me. It took quite a while for it to function. But once it got inside your vessels, you’ll fall asleep faster than a speed of sound. Another marvelous thing about it was it never gave me dreams. For me, sleep has always been some form of getaway from this horrid world we live in. I wanted the episode to be as close as a dead faint.

Years gone by and I somehow got accepted in a university that wasn’t on my list. But I went nonetheless. I was a single rider; living on my own and depending myself on my own two feet. Everything got more and more difficult; sleeping and the attempt to go to sleep. I was required to finish piles of assignments and deadlines. I didn’t have time for yoga anymore. I stopped spending my money on my favorite teas and Diptyque, even sleeping pills, only able to spend it on food and packs of cigarettes as my company for the sleepless nights. It wasn’t the healthiest habit, I’m fully aware of that.

As a matter of fact, I always wanted to adopt a stray kitten or dogs as my company in my small boarding house. But that is something I couldn’t do. If I’m too desperate to act on it, I’m certain that I’ll often find my eyes and skin turned red before it got swollen. Followed with my airways become inflamed and soon I’ll find it hard to breathe. On these kinds of events, I sometimes consumed antihistamine to ease the symptoms as soon as possible. Some people didn’t know that antihistamine could make you feel drowsy and as soon as you realized, you already find yourself in a deep sleep; forgetting the fact that you just had an allergic reaction that could nearly kill you. So maybe one day you might see me embracing stray animals or voluntarily asked you to clean your dusty room. Maybe on days like that, I just want to rest in peace.

27/01/2020

Perihal Renjana

Jika dipandang lekat-lekat
Rinduku hanya gulana di ujung tanduk
Selayaknya ombak yang menderu dan melebur
Aku tidak menampik ia menjadi agung
Pasrah saat ia mengukuhkanku sebagai inangnya
Demi tetap hidup dan membiru dalam diriku

Lalaiku yang sering tak menguncinya
Membuatnya kerap kali enyah ke masa lampau
Menebas dan merasuk menuju jantung memori paling terjal
Kedua kaki kotornya akan merebahkan diri
Pada reminisensi yang sepantasnya diabaikan
Yang sekarang menjadi keruh
Namun malar terasa penuh

24/01/2020

Misfit

Under the coastline summer sun, a man stood still. His sweat has grown cold, soaking his white linen shirt. He gulped down the murky water he keeps inside a bottle he carries around his neck. Unsavory taste filled his throat but he has no choice. It’s either the murky water or letting dehydration nonchalantly kills him. It’s been months (or even a year, he lost count of the time) since he seeks solace between the melancholy mountains and packed cities. He likes to call himself a rolling stone, because that’s what people like to call him. It sounds endearing. At least better than lost. Like now, for example; he’s stuck as the sunlight gnawing his golden skin before he started to chase mirages.
_______________________________________________________________
He knows it wasn’t real. But his weary steps choose to keep going to a home sweet home. A house filled with lilts and hymns. It is, at least for him, much better than finding an oasis or cavern to sleep in.

He knows it wasn’t real. But is it wrong – for a spur of a moment – to believe in it?

His eyes full of despair; somersaulting to come to someone who no longer afraid to embrace his fears and misery. On his ear they’ll whisper;

“Come closer, fighter. It is time to heal your wounds.
_______________________________________________________________
The obscure moon irradiates his face when he snapped back to reality. Removed from the all the ritz and glitz, he gets back on his feet. He soon finds himself walking around in a daze; trying to find anything else to consume besides the murky water. He’s been cynical about life and maybe it should stay like that. For his life is nothing but the murky water he brought all along. But for a glimpse of a second he almost,

kind of,

close to,

nearly,

believe that I was not a delusion. That he didn’t leave the home that no longer whole. That he’s not misplaced. That he isn’t a strange man in a strange land.

21/01/2020

Fuzzy, Fuzzy

The road is subtle
No potholes, not even eroded
The sky has been benign
No hazy rear view window or eye-blinding headlights
The vehicle works well too
So tell me, honey,
Why does the journey feels so bumpy?

14/01/2020

Fragmen Malam Purnama

Satu-persatu pakaian kami tanggal
Tersisa pikiran yang dibalut nista
Dan tanpa tergesa ia tenggelam
Hanyut dalam diriku serupa nikmat yang profan

Raungmu tersengal
Sisi gelapmu perlahan tersingkap
Menarik dan menghardik
Mengutukku layaknya karunia surga

Dua dura lalu melebur
Menunggalkan dua nama jadi satu
Menyempitkan celah antara dahaga
Dan tubuh milik masing-masing

Kemudian hujanku menjelma rintik
Dan badai di jantungmu
Merekah menjelma fajar