19/04/2020

Sementara

Nama lelaki itu Lintang. Ia selalu merasa nama yang tersemat di dirinya sebagai suatu darma yang berat untuk ditunaikan. Ibundanya berharap ia menjadi suluh bagi hari-hari yang muram dan jiwa-jiwa yang tersesat. Namun sejujurnya, untuk menjadi bintang di malam kelam untuk dirinya saja masih sukar untuk ia lakukan.

Tuhan tak pernah tahu namanya. Ia biasa memanggilnya dengan adzan subuh. Lintang tak pernah menjadi umat yang taat. Tetapi fajar untuknya selalu menjadi waktu yang menyimpan suasana mistik; saat yang tepat baginya untuk menengadah tangan dan merawi kepada Sang Kuasa.

Namun fajar kali ini berbeda. Panggilan dari Tuhan tak ia gubris sedikitpun. Ayam jago yang sudah berkokok 12 kali pun ia elakkan. Dua bola matanya masih terbalut ria, tak kenal lagi dengan kantuk. Ia menatap gambaran seorang anak Hawa yang sedang sibuk menceritakan sebuah buku yang baru saja ia tuntaskan. Lintang tentunya sudah menamatkan buku itu berkali-kali. Tetapi dirinya tak keberatan mendengarkan ceritanya sekali lagi, jika yang bercerita adalah perempuan itu. Ia menemukan teman untuk berbagi selain pada Penciptanya.

Dua jarum di dinding kamarnya sudah tak kenal lagi gravitasi. Lintang tahu ia tak bisa mengandalkan waktu untuk mengakhiri ini. Surga yang semu ini harus selesai. Ia mengucap salam dan berjanji untuk bertemu lagi, apapun artinya itu.  Namun matanya tak mampu terpejam. Ia merasa abadi tanpa kehadiran kekal di sampingnya.

No comments:

Post a Comment