31/12/2014

Siapa Dia?


          Untuk kesekian kalinya, Ibuku memeluk tubuhku hangat. Aroma tubuhnya tertempel di baju rajutku. Aroma sabun dan melati, entah bagaimana dapat menyatu menjadi suatu keselarasan. Aku menarik koperku menjauh. Rasanya aku tak sanggup lagi melihat wajah sedihnya. Apalagi melihat wajah adikku yang ditutupi oleh air mata. Aku ingin bilang pada mereka untuk tak perlu bersedih tentang kepergianku. Namun kubatalkan ucapanku karena aku sendiri merasa berat hati harus meninggalkan mereka.


          Aku melihat temanku, Cheila, melambaikan tangannya agar aku dapat melihatnya. Ia temanku. Sesama pelajar Indonesia yang studi di Jepang. "Jongga!," sahutnya. Aku menghampirinya namun tak menyapanya. Hanya berdiri diam disampingnya. "Pesawatnya bentar lagi boarding, kok. Kita kesana sekarang aja". Ia menarik tanganku dan membawaku serta ke pintu pesawat. Suara roda koper orang-orang mulai membuatku gugup. Sedari dulu aku bukan penggemar pesawat. Segala hal tentang turbulance, take off, dan landing dapat membuatku panik dalam sekejap. Tetapi rasanya tidak mungkin jika aku harus mengendarai mobil atau kendaraan darat lainnya ke Indonesia. Itu pasti membutuhkan waktu yang sangat, amat lama. "Konbawa! Furaito ni notte kangei," sambut salah satu pramugari saat aku melangkah masuk ke pesawat. Aku hanya membalasnya dengan senyuman. Kata-kata yang ingin keluar dari mulutku tertahan oleh rasa gelisah didalam perutku. Aku memasang sabuk pengamanku sedikit lebih kencang. Aku mengusap tanganku dengan ibu jariku dengan gerakan yang sama berulang-ulang untuk menenangkan diriku. Bagaimana jika aku tak diterima di lingkunganku yang baru nanti? Bagaimana jika aku gagal dan harus kembali ke Jepang dengan kesedihan di wajahku? Bagaimana jika nanti aku mengecewakan keluargaku? Aku tak dapat memikirkan hal yang lebih buruk lagi karena pesawat mulai berjalan perlahan. Perlahan tapi pasti. "Cabin crew prepare for take-off," suara sang pilot terdengar diseluruh lorong pesawat. Aku menutup mataku. Berdoa yang terbaik akan segera datang.




*          *          *


          Tangis dan tawa memenuhi Bandara Soekarno-Hatta pagi itu. Aku mengikuti langkah Cheila yang tergesa-gesa. Ia terus menerus sibuk menatap layar handphone-nya. Tampaknya ia sedang menunggu seseorang menjemputnya. "Ga, ini alamat tempat tinggal lo selama di Jakarta. Kalau butuh apa-apa, hubungin gue aja, ya. Gue bareng sama temen gue. Mungkin lo bisa pulang naik taksi," tutur Cheila sambil menyodorkan seberkas kertas padaku. Aku menyergapnya. "Ngerti. Gue juga pernah tinggal di Indonesia, Chel." Ia meninju lenganku main-main. Tawa kecil keluar dari mulutnya. "Gue cuma takut lo nyasar aja, Ga. Tuh, temen gue udah jemput." Seorang gadis seumurannya melambaikan tangan pada kami sambil memamerkan giginya. Cheila segera lari menarik kasar kopernya. Melupakanku yang berdiri disampingnya sedari tadi. Siapa dia?

          Tubuhnya terlihat ramping dengan baju bermotif garis-garis yang dipakainya. Rambutnya yang hitam panjang dibiarkan terurai dibahunya. Berpadu dengan kulitnya yang putih. Ia cukup menawan untuk menarik perhatianku. Kelihatannya ia melihatku memperhatikannya, sehingga aku membuang pandanganku seakan tak peduli. Aku berjalan menjauh ke pangkalan taksi disekitarku. Beruntung bagiku aku sampai pada pagi hari sehingga masih banyak taksi kosong yang siap menampungku. Aku memasuki salah satunya dan memberitahukan tujuanku. Sang supir langsung membawa taksinya melaju keluar bandara. Aku masih memikirkan gadis tadi. Tak kusadari jantungku berdegup cepat. Ada apa denganku?

          Aku merogoh handphone-ku untuk mengirim sebuah pesan singkat. Untuk Cheila.

          'Chel, yang tadi jemput lo itu siapa?' 

          Aku menunggu dan menunggu. Aku terus-menerus melirik keluar jendela. Melihat kemacetan Jakarta yang dari dulu hingga sekarang tak pernah berkurang, malahan bertambah parah. Lalu layar handphone-ku menyala. Pertanda seseorang mengirimiku pesan singkat. Cheila.

          'Itu sahabat lama gue namanya Kaira. Kenapa? Suka, ya? :) :)'

          Sial. Aku memang bukan seorang ahli dalam menyembunyikan perasaanku. Maka dari itu aku lebih memilih diam setiap saat. Walau hal itu kadang membuat orang baru mengira diriku sebagai seseorang yang dingin.

          'Engga, kok. Mau nanya aja.'

          Tak lama setelah aku menekan tombol 'Kirim', balasan dari Cheila datang lagi.

          'Tenang aja. Dia ada di universitas yang sama kayak kita. Malah, Kaira satu jurusan sama lo :)'

          Sesaat setelah kubaca pesan itu, senyuman tergurat diwajahku. Kali ini tak dapat kusembunyikan perasaanku. Tak sabar aku menunggu hari Senin untuk datang. Hari pertamaku kuliah. Mungkin harus kuganti perasaan pesimisku dengan rasa optimis. Mungkin, mungkin saja, ini merupakan sesuatu yang indah. Kita lihat saja. 



          

16/12/2014

Apa Itu Cinta?


            Suara sayup-sayup burung gagak masih terdengar di telinga. Langit musim panas masih benderang, walau waktu sudah menunjukkan pukul tujuh malam. Sudah lima tahun semenjak kepindahan kami ke Jepang. Namun aku masih belum mampu untuk menerima perbedaan yang ditawarkan negara ini. Bagaimana kebutuhan sehari-hari bergantung pada mesin-mesin yang berjejer di jalanan. Bagaimana Jepang selalu memberikan kejutan di setiap pergantian musim setiap bulannya. Atau keramaian dan kesibukan orang-orangnya di pagi hari. Jepang memang indah, tetapi hatiku ini milik Indonesia, tempat kelahiranku.

            Satu-satunya alasan aku enggan untuk kembali, adalah sosok ayahku yang sampai saat ini menjadi trauma masa kecilku. Pada awalnya, ia memang terlihat seperti ayah yang selalu aku idam-idamkan. Aku selalu menggores krayon dengan jari-jari kecilku dan membentuk sosok dirinya jika guru disekolahku menanyakan siapa idola kami. Seorang tentara dengan gelar jendral. Tak kusadari kelamaan profesinya itu memberikanku sebuah gambaran tentang masa depanku. Aku ingin menjadi sepertinya.

            Lalu semua itu berubah, dalam waktu yang begitu singkat. Ibu seringkali berkelahi dengan Ayah pada malam hari. Berharap aku dan adik perempuanku tidak akan mendengarnya. Salah. Aku selalu mendengar mereka berkelahi tentang hal yang waktu itu belum kumengerti. Perselingkuhan, alkohol, dan uang. Sejak itu, ibu lebih sering terdiam. Dan aku tahu, diamnya itu karena beliau sudah lelah. Ia tersakiti.

            Ia memutuskan untuk meninggalkan ayahku, lelaki yang dulu ia kira ia tak akan mampu mengecewakannya. Lalu Ibu mulai mencari pekerjaan untuk menghidupi dirinya. Untuk menghidupi aku dan adikku. Dengan kemampuannya berbahasa Jepang, ia mendapatkan pekerjaan di negeri sakura ini. Sejak saat itulah kami bertiga hijrah dan tak pernah menoleh ke belakang lagi. Kami memulai semuanya dari awal.

            Aku masih berjalan-jalan di kawasan Nagoya. Menikmati keramaian dan melihat-lihat pajangan dari balik jendela toko yang berderet lurus seperti tak berujung. Aku memegang amplop putih yang sedari tadi kugenggam. Amplop dengan nama 'Jongga Darmawan' tertera diatasnya. Namaku. Amplop yang membuat hatiku sedari tadi gundah. Sebuah tawaran dari Indonesia untukku pulang. Beasiswa penuh untukku melanjutkan S1. Negeriku ingin aku kembali. Namun apa aku mampu meninggalkan keluargaku disini? Apa mampu aku membiarkan ibu dan adik perempuanku sendiri? Tanda tanya itu masih melayang-layang di anganku. Haus akan jawaban yang masih entah ada dimana. Aku putuskan untuk duduk sejenak sesaat setelah aku merasakan rasa sakit di tumitku. Diseberangku, kulihat sepasang muda-mudi duduk bersebelahan sambil bersuap seporsi takoyaki. Mereka bercanda tawa, seakan dunia milik mereka sendiri. Mereka terlihat bahagia. Apa itu cinta?

            Aku menertawakan pikiranku sendiri. Omong kosong soal cinta. Cinta itu tak pernah ada. Cinta itu hanya sebuah kata dalam cerita dongeng yang wujudnya fiksi. Selama ini manusia hanya dibohongi oleh manusia lain yang mengarang-ngarang soal perasaan yang diberi nama cinta. Yang kutahu, cinta itu tak pernah ada. Yang ada hanyalah rasa tertarik dan nafsu belaka. Ayahku selalu mengatakan ia mencintai ibuku. Tetapi ia tak akan pernah menyakiti ibuku jika ia benar-benar mencintainya. Dan ibuku tak akan mampu meninggalkan ayahku jika ia benar-benar mencintainya. Mereka tak mungkin berpisah jika cinta itu memang ada. Semua itu bukan cinta. Semua itu hanya nafsu belaka.

            Tanpa kusadari aku sudah berjalan terlalu lama. Langit sudah mulai kehilangan cahayanya. Sudah saatnya aku pulang. Bukan kerumah. Melainkan ke kampung halamanku yang sebenarnya. Untuk memulai hidupku ini. Siapa tahu, aku mendapatkan jawaban dari keingintahuanku akan sosok cinta.

            Tunggu aku, Indonesia. Aku pulang.

01/12/2014

December 1st, 2014

Purnama dalam warna kelabu

Berpendar terang diatas langit Minggu

Setiap malam kunanti dirimu

Sesak hati dengan rasa rindu

Walau pikiran merasa jemu

Walau hadirmu itu semu

Walau tumbuh rasa ragu

Aku akan selalu menunggu

Menunggu saat nanti bertemu Ibu

Selalu



Selamat Ulang Tahun, Ibu



09/11/2014

Masih Tersimpan

Tak seperti biasanya hujan. Biasanya langit hanya menawarkan langit kelabu tanpa titik-titik air yang terjatuh dikepalaku. Entah bagaimana, titik-titik air itu memutuskan untuk menjatuhkan dirinya malam ini. Disebuah malam minggu di awal November. Hujan yang mengguyur sejak sore, membuat jalanan tergenang dimana-mana. Kemacetan mengepungku cukup lama. Membuat hati ini gundah. Kulirik jam tanganku puluhan kali. Jantungku berdegup kencang. Benakku tak dapat berpikir dengan jernih. Apa mungkin aku sampai tepat pada waktunya?

Purnama menemaniku. Berusaha menenangkanku. Namun ia pun akhirnya menghilang. Terselimuti oleh awan kelabu yang tak kunjung sirna. Malamku gelap lagi. Hatiku galau lagi.

Lalu kupinta Sang Waktu untuk memperlambat dirinya berjalan. Kupinta Sang Takdir untuk turut membantuku. Dan rasanya mereka pun mendengar laraku. Seorang gadis dengan hati yang sendu yang tak meminta banyak. Hanya kali ini saja.

Dan pada akhirnya, aku sampai ditempat yang kutuju. Aku berlari. Entah mengejar apa. Entah untuk apa. Namun aku berlari. Karena aku tahu, seseorang yang kutunggu itu tak jauh dari sini. Aku merasakan kehadirannya. Dimana dia?

Aku akhirnya berhenti berlari. Merasa lelah. Merasakan tenagaku yang terkuras habis oleh emosi dan perasaan yang bercampur aduk tak karuan. Dan pada saat itu, seseorang itu datang. Tak perlu menanyakan keraguan di jiwa, karena hatiku yakin itulah dia.

Sang potongan memori yang hilang. Akhirnya kembali lagi. Dan ia pun tersenyum. Menandakan aku pun tak salah. Sebuah potongan memori yang hilang darinya pun kugenggam erat. Masih tersimpan. Masih disini. Masih ada, dan selalu ada. 

18/09/2014

Biar Waktu yang Menjawab

Bagaimana jika pandangan dari mata indah itu dapat membuatku terpesona berkali-kali? Tak peduli apakah kau terpesona dengan milikku atau tidak.

Bagaimana jika hanya kamu pilihanku untuk kembali? Tak peduli dengan segala kekuranganmu yang seakan sirna dimataku.

Aku berjalan diantara bayangan waktu. Bimbang. Berada diantara masa lalu dan masa kini. Terombang-ambing dengan perasaanku sendiri. Tenggelam oleh pikiranku sendiri.

Lalu kau muncul. Menawarkan tumpangan untukku. Untuk pergi dari masa lalu. Membawaku ke masa kini, dimana aku seharusnya hidup.

Lalu perasaan itu tumbuh. Apa kamu merasakannya juga? Aku tak dapat menebak apa perasaan yang tersembunyi dibalik wajah tak pedulimu itu. Namun aku tahu, kau sebenarnya peduli.

Aku memintamu untuk mengantarku ke masa depan. Agar aku tahu bagaimana jalan cerita ini. Agar aku tak harus merasa kecewa berkali-kali dengan harapan yang telah kugantung tinggi.

Tetapi kau memintaku untuk bersabar. Untuk berjalan saja mengikuti arus yang ada. Untuk menikmati apa yang ada detik ini, saat ini. Biar waktu saja yang menjawab, ucapmu.

14/09/2014

Sudut Pandang

Jika saja perspektif itu dapat berubah

Jika saja perspektif itu dapat dilihat oleh perspektif lain

Jika saja perspektif itu dapat dipilih

Jika saja perspektif itu tak pernah ada

Jika saja aku itu perspektifmu

Jika saja kau menginjak sepatu yang kupijak ini

Mungkin pada akhirnya kau akan mengerti

06/08/2014

Hey Jude

                ‘Selepas kuliah ini, aku benar-benar harus istirahat,’ pikir Lucy sesaat sesudah sang dosen mengakhiri kelas neurologi hari itu. Sesuai keinginan orang tuanya,  ia mengambil kuliah dengan jurusan kedokteran. Cukup sulit dan memang memakan waktu lama. Namun biologi merupakan salah satu kecintaan Lucy pada saat ia masih duduk di bangku sekolah menengah atas. Dan untungnya, ia hampir menyelesaikan gelar dokter umumnya. Mungkin sekitar 4 bulan lagi. Alasan Lucy menyetujui orang tuanya untuk mempelajari ilmu kedokteran cukup sederhana; ini merupakan salah satu wujud syukur atas ciptaan Yang Maha Kuasa. Dan dalam profesinya, dokter berperan besar dalam menentukan penyakit dan kelainan seseorang dan dengan sigap mengobatinya. Sejak dulu, Lucy selalu mencari cara untuk membantu orang lain yang kesusahan. Namun dulu ia belum memiliki kemampuan apapun untuk membantu orang lain. Ia hanya membantu orang tuanya menyalurkan bantuan ke rumah-rumah yatim piatu. Dan dengan kemampuannya sekarang, ia dapat lebih mudah membantu orang lain tanpa harus merepotkan orang tuanya.

            Dengan dibebani buku-buku yang cukup tebal di bahunya, Lucy berjalan menuju keluar kampus.Matahari sudah senja. Mencampur alunan warna biru dan jingga menjadi harmoni di langit nun jauh disana. Suara panggilan untuk menghadap Sang Maha Kuasa pun sudah berkumandang dimana-mana. Lucy melirik jam tangan biru di tangan kirinya dan memutuskan untuk mencari masjid terdekat sebelum mengantar dirinya pulang. Untung saja ia bergerak cukup cepat untuk mengejar sembahyang berjamaah. Masjid pun sedang tidak begitu ramai, sehingga tidak mengharuskan ia untuk berdesakan dengan orang-orang asing lainnya. Seusai sembahyang, Lucy berdiam diri sejenak dan berdoa. Ia mengucap doa yang sama seperti yang ia ucapkan sejak dulu. ‘Tuhan, berikanlah yang terbaik untukku dan untuk orang-orang disekitarku. Jika yang kuterima ini dirasa bukan yang terbaik untukku, padahal itulah yang terbaik yang kau berikan untukku, maka berikanlah aku kekuatan untuk menerima dan menafsirkan realita. Amin.’ Tak luput juga ia mendoakan orang tuanya dan keselamatannya di dunia dan di akhirat. Lalu Lucy berdiri, menelepas mukena dan melipatnya rapi sebelum memasukkannya kedalam tasnya.

            Ia akhirnya berjalan pulang menuju halte bis didekat kampusnya. Namun, ada yang aneh. Tampak rasanya ada seseorang yang mengikuti langkah Lucy yang tidak buru-buru itu. Ia menoleh kekanan dan kekiri. Masih banyak orang disekitarnya, jaga-jaga jika seseorang yang dirasanya mengikutinya ini membahayakan dirinya. Ia mulai mengingat-ingat ilmu aikido yang dahulu pernah ia pelajari sewaktu sekolah menengah atas. Dengan gelarnya yang sudah mencapai Dan I, ia tak akan membuat orang yang mengikutinya ini merasa menang atas rasa takut Lucy. Ia mulai mengambil langkah cepat, dan didengarnya langkah orang yang dibelakangnya mengikuti irama langkahnya. ‘Orang ini benar-benar mengikutiku!’ pikirnya. Lalu Lucy memutuskan bahwa ia akan memergoki orang ini sedang mengikutinya. Sesaat sebelum ia akan menyebrang ke halte bis, ia mendadak menghentikan langkahnya dan berbalik badan. Lantas orang yang dibelakangnya itu menabraknya dan hampir membuatnya terjatuh. Namun orang itu juga cekatan. Dengan tangannya ia mencengkram bahu Lucy untuk menahannya tidak terjatuh. Lucy menyadari bahwa itu adalah sepasang tangan lelaki. Lalu ia memberanikan diri untuk menatap wajah lelaki itu.

“Jude? Ini kamu?” ucap Lucy kaget.

            “Jadi benar ini kamu.” Jude melepaskan cengkramannya dan membiarkan Lucy berdiri terpaku dihadapannya. “Maaf jika aku menakutkanmu. Aku sudah menduga itu kamu. Tapi aku kurang yakin. Dan aku tak ingin menyapa orang yang salah. Maka aku putuskan untuk mengikutimu dulu,” jelasnya. Dilihatnya pemuda dengan postur gagah berdiri dihadapannya mengenakan kaos biru tua dan jeans. Ini benar Jude.

            “Apa yang kau lakukan disini? Bukannya kamu menuntut ilmu di Australia?” tanya Lucy, masih merasa bingung dan kaget.

            “Aku baru saja menyelesaikan sekolah memasakku disana. Aku ingin menambah ilmu bisnis disini. Orang tuaku pun ingin aku tidak kuliah jauh-jauh lagi dari mereka,” lalu Jude berhenti sejenak dan melanjutkan perkataannya, “Lucy, ini sudah hampir malam. Apa tidak seharusnya kita pergi ke suatu tempat untuk berbincang? Sudah lama aku tak bertemu denganmu. Aku merindukanmu.” Lucy yang masih tak percaya dengan pertemuannya dengan Jude hanya diam bergeming hingga akhirnya ia mengangguk pelan. “Tapi jangan terlalu larut. Aku ada tes untuk besok.” Lalu, sepasang manusia yang lama tak bertemu itu melesat pergi ke kedai kopi terdekat.

            Lucy memesan green tea latte untuk menyegarkan pikirannya. Ia ingat ia pernah diberitahu oleh ibunya bahwa teh hijau dapat membantu tubuhnya agar tidak mudah kelelahan. Lucy butuh sesuatu yang seperti itu saat ini. Sedangkan Jude memesan passion fruit dengan balok-balok es yang mengambang diantaranya. Sangat tidak cocok dengan cuaca malam itu yang dingin. Mereka memutuskan untuk duduk didekat jendela. Sang Bulan yang kedinginan ditiup angin, memilih gumpalan awan tebal sebagai selimutnya. Membuatnya bagaikan mutiara yang menggantung diantara kelamnya langit. Sambil menyeruput minumanny, Lucy mencoba untuk memecah balok es tak kasat mata diantara mereka. “Jadi, apa yang kamu lakukan di kampusku tadi?”

Ia memutar-mutar sedotannya dengan pola gerakan yang sama. Tak melepaskan pandangannya dari minumannya. “Aku memang sedang mencari-cari universitas untuk sekolah bisnisku. Lima hari terakhir ini hanya aku habiskan dengan pertemuan keluarga lagi, lagi, dan lagi. Tak ada salahnya aku memulainya dari sini,” ia berhenti sejenak, lalu melanjutkan, “Dan beberapa hari sebelum penerbanganku ke Indonesia, aku sibuk membolak-balik lagi buku tahunanku dan mencari teman-teman lama yang masih bisa dihubungi. Lalu aku berhasil menghubungi Rama. Kau ingat Rama, kan? Lelaki yang mengalahkanmu di seleksi olimpiade sains dulu.”

Lucy mengangguk. Masih tersimpan dipikirannya tentang lelaki yang dimaksud Jude. Rama. Saat itu Lucy masih duduk dikelas sebelas. Sekolahnya memutuskan untuk mengikutsertakan diri pada suatu olimpiade sains tingkat nasional. Dan setelah mengalami seleksi ketat, akhirnya tersisa Lucy dan Rama. Rasanya Lucy telah belajar keras berminggu-minggu yang lalu. Tetapi itu semua tidak pernah cukup. Rama yang pada akhirnya mewakilkan sekolahnya untuk olimpiade sains itu. Lucy pulang dengan perasaan yang cukup sedih. Namun setelah pemikiran panjang, kejadian tersebut memberikan Lucy pelajaran bahwa tak pernah ada salahnya untuk mencoba dan gagal. Tak selamanya hidup itu memberikan apa yang kita mau.

“Aku berhasil menghubunginya dan kuketahui bahwa ia sekarang berada di universitas di Yogyakarta. Lalu aku menanyakannya tentang dirimu.” Lucy tersentak diam. Jude kemudian menatap matanya itu. Tatapan itu tak pernah berubah sejak dulu. Masih seperti yang diingat Lucy. Bahkan bekas luka yang membekas di dahi Jude, masih ada di tempatnya. Masih membekas sebagai ciri khasnya. Hal yang dulu sempat dianggap Lucy menarik.

“Kami akan membawakan suatu lagu dari salah satu band favorit saya, The Beatles!” Vokalis dari live music di kedai kopi malam itu kemudian menyanyikan lagu ‘Hey Jude’ yang menurut Lucy, dibawakan dengan indah. The Beatles memang sudah menjadi salah satu kelompok musisi favorit Lucy. Dan Jude.

“Aku masih ingat saat dulu setiap kita berdua mendengar lagu ini atau lagu ‘Lucy in the Sky with Diamonds’, kita selalu berpikir bahwa The Beatles memang sengaja membuatkan lagu ini untuk kita. Bahwa memang seharusnya kita itu, entah bagaimana, walau dipisah oleh sebuah dimensi lain, akan tetap dipertemukan lagi dan lagi.”

“Orang tua kita berdua memang menyukai The Beatles, Jude. Dan kita berdua ini memang korban dari para orang tua yang adalah penggemar berat dari kelompok musisi legendaris sepanjang masa. Dan untuk bertemu denganmu, kurasa memang hanya sebuah kebetulan,” tutur Lucy. Green tea latte yang sedari tadi diminumnya, kini telah menunjukkan dasarnya. Ia mendesak untuk membeli secangkir lagi. Ia rasa ia tak mampu menjalankan suatu percakapan tanpa secangkir minuman atau seporsi makanan didepannya. Bukan karena ia lapar. Melaikan Lucy tak biasa dengan orang asing. Jadi makanan atau minuman yang berada dihadapannya itu beralih fungsi dari sesuatu untuk mengganjal perut menjadi objek untuk menghindari kontak mata yang canggung. Sedangkan Jude memutuskan untuk membeli seporsi kue mangkuk vegetarian.

“Kau tahu, aku tak pernah percaya dengan kebetulan. Semua itu memang sudah tertulis sejak dulu. Masa kau tidak percaya dengan takdir?” Ia bertanya pada Lucy, heran.

“Yang aku percaya, takdir itu tiap individu itu sendiri yang menentukan. Bagaimana jika dibuku takdir itu tertulis kau akan memesan kue mangkok rasa coklat dengan taburan coklat keping diatasnya namun pada akhirnya kau memilih untuk menyuap kue mangkok vegetarian yang rasanya mungkin sama buruknya dengan kue gagal buatan ibuku hanya untuk menjaga bentuk badanmu itu. Kuperhatikan tadi kau mencengkamku cukup kuat. Angkat beban?” Jude tertawa mendengar Lucy berceloteh ria. Kelompok musik yang tampil malam itu membawakan lagu-lagu yang cukup meriah. Membuat Jude tergelitik untuk menggoda Lucy lagi dan lagi. ‘Ia masih sama seperti dulu. Menggemaskan,’ pikir Jude.

“Sebenarnya aku mengidap diabetes sejak aku pindah ke Australia. Aku harus menjaga makananku dengan mengkonsumsi makanan organik dan vegetarian. Dan ya, rasanya memang buruk sekali.” Lucy tertawa dan menatap Jude dengan tatapan sudah-kuduga-itu. “Lalu dokter menyarankan untuk meningkatkan waktu latihanku di pusat kebugaran. Ya, kurang lebih hasilnya begini.” Jude memamerkan tangannya yang lumayan berotot layaknya ia seorang binaragawan di sampul majalah. “Akhirnya akan kulihat seorang chef dengan badan atletis. Bukan chef yang bertubuh gempal dengan pisau ditangan kanannya. Membuatku memiliki gambaran bahwa ia tukang makan yang sebenarnya adalah psikopat lihai dan bersiap untuk membunuhku.” Jude tertawa sekali lagi. Lucy memang selalu dikenal dengan selera humornya yang tinggi. Hal itu juga yang membuatnya rindu kepada gadis berambut ikal itu.

Jam menunjukkan pukul 10 malam. Lucy sudah menyeruput habis minumannya dan ia tahu sudah saatnya untuk pulang. Ia harus mempersiapkan diri untuk besok. Neurologi adalah salah satu kelemahannya dalam kelas kedokteran. “Aku harus pulang.” Jude menunjukkan wajah sedih dan kecewa. Tapi ia tahu bahwa ia tak dapat mencegahnya untuk pergi. Menjadi mahasiswa di bidang kedokteran memang sangat menyita waktu. Tapi tak ada salahnya mencoba. “Tak bisa tinggal sebentar lagi? Aku masih menikmati pertemuan kita.” Lucy mulai mengemas barangnya. Buku-bukunya yang tebal disandangnya lagi di lengannya. “Kau tahu aku harus pulang, Jude. Mungkin lain waktu.” Jude berdiri mengikuti Lucy yang mulai berjalan dengan langkah cepat kearah pintu keluar. “Besok?” Jude bertanya, mencegat Lucy untuk keluar. Lucy menghela nafas panjang.

“Jude, aku tak ingin kita mencoba lagi menjalin tali-tali hubungan kita yang memang seharusnya sudah terpisah. Tak ada gunanya lagi membuang waktu dan tenaga untuk mencoba menjalinnya kembali. Aku pun sebenarnya juga merindukanmu, Jude. Namun aku tak dapat melupakan saat dimana kau pergi dan menghilang begitu saja tanpa kabar sedikitpun. Aku disini merindukanmu. Bertanya-tanya tentang dirimu. Menanti kapan orang yang kusayangi ini akan hadir disampingku saat pagi hari dan menjadi orang yang pertama kutatap matanya. Aku menanti kapan telepon genggamku akan dipenuhi dengan pesan singkat darimu yang berisi tentang dirimu yang juga merindukanku dan menanti kapan kita akan dipertemukan lagi oleh Sang Waktu. Namun, semua itu hanya khayalku. Dan memang bukan tugas Sang Takdir untuk membuatku bahagia. Maka dari itu aku mencoba untuk membuat diriku sendiri bahagia. Tak ada gunanya mengandalkan takdir. Lebih baik aku mencoba untuk menulis takdirku sendiri. Dan pada kenyataannya, cahaya surya yang setiap pagi masuk menumbus jendela kamarku dan menatap mataku untuk pertama kalinya. Dan telepon genggamku hanya berisi pesan singkat dari operator dan beberapa pesan penipuan yang mengatasnamakan orang tuaku yang meminta kiriman uang.”


“Lucy. . .” Sebelum Jude melanjutkan kalimatnya, Lucy melanjutkan ucapannya, “Lalu kudengar kau menemukan gadis lain untuk ditatap matanya dan untuk dicintai. Pelajar asal Indonesia juga, bukan? Ya, aku tahu. Pada saat itu, rasanya hatiku bagai ditusuk oleh serpihan kayu. Memang hanya serpihan, namun sakitnya luar biasa. Lalu aku mencoba untuk mengikuti arus kehidupan yang mengalir terus menerus tanpa henti. Aku memutuskan untuk pergi dari masa lalu, Jude. Aku memutuskan untuk pergi dari dirimu yang semu di hidupku. Dan kupikir itu cukup menjelaskan semua.” Lucy melangkah pergi dengan cekatan. Meninggalkan Jude yang terpaku dalam perasaan kaget bercampur sedih diambang pintu kedai kopi. “Lagu ini akan menutup jumpa kita malam ini. Kami ucapkan terima kasih!” Live music mulai memainkan lagu The Scientist yang aslinya dibawakan oleh grup musik asal Inggris bernama Coldplay. Lagu yang pas untuk Jude yang sedang dirudung rasa menyesal. Gadis yang seharusnya berada didekapannya, kini serasa berada jauh diujung dunia. Dan hanya satu yang Jude inginkan saat itu. Kembali ke masa lalu dan memperbaiki semuanya. Agar Lucy pun mengerti bahwa hanya dirinyalah yang ada dihati Jude. Namun, ia tahu semua itu hanya angan semata. Lucy telah pergi.

16/07/2014

Yang Sekian

          Pikiranku saat ini: memakai sepatu hak tinggi itu sungguh menyakitkan. Aku tak cukup mengerti mengapa wanita dengan senang hati menyakitkan diri mereka sendiri dengan berdiri berjam-jam dengan balutan hak tinggi hanya untuk sekadar membahagiakan perspektif orang lain.

‘Apa yang aku lakukan disini?’

Dengan mengenakan baju terusan hitam yang memeluk tubuhku cukup ketat, rambut tertata rapi, tatanan riasan yang cukup tebal, dan sepasang hak tinggi. Diriku yang sesungguhnya lebih memilih untuk memakai kaos yang ukurannya lebih besar dari ukuran tubuhku dan celana jeans gelap. Ditambah lagi dengan kerumunan orang yang berlalu-lalang kesana-kemari. Tertawa dan berbincang sembari mengunyah makanan yang porsinya sengaja dipesan sedikit untuk tetap menjaga lekuk perut mereka yang sangat sempurna dibandingkan dengan milikku. Aku terasa asing. Untuk sesaat rasanya aku mengerti bagaimana rasanya menjadi seorang alien.

            Ibuku yang memaksaku menginjak kaki disini. Dengan harapan aku dapat mengobati ansietas sosialku yang kian lama kian parah. Aku lebih memilih mengurung diri di kamarku hanya untuk membaca setumpuk buku daripada harus bersosialisasi dengan dunia luar. Ya, aku memang lebih mencintai buku daripada manusia. Walaupun keduanya dapat membuatku menitikan air mata sama parahnya, tapi setidaknya buku dapat membawaku ke dunia lain yang hanya ada di dalam imajiku. Di buku, aku dapat dengan mudahnya membaca akhir dari kisahnya. Namun pada manusia, aku harus menerka sedemikian rupa untuk mengetahui dirinya, masa lalunya dan sifat-sifatnya. Beberapa orang pun memang sulit ditebak.

            Tapi aku gadis yang nyaris beranjak dewasa, ibuku khawatir aku akan menjadi seorang anti-sosial yang tak memiliki teman seorang pun. Yang malahan kusukai karena terlalu banyak berhubungan dan membuat ikatan dengan orang asing merupakan tindakan yang beresiko tinggi. Aku bisa saja dilukai, dibohongi, dikhianati, ditipu, atau tindakan mengerikan lainnya yang dapat mereka lakukan padaku. Lalu setelah itu, ibuku menatapku dalam-dalam dan berkata,

            “Nak, kamu hidup di dunia ini tidak sendiri. Masih banyak jutaan orang diluar sana yang belum sedikitpun kau sentuh jalur kehidupannya. Masih banyak yang entah bagaimana membutuhkan eksistensimu di dunia ini. Kamu hanya tidak sadar saja, seberapa banyak orang yang ingin masuk kedalam buku cerita kehidupanmu itu. Kamu itu menyenangkan. Kamu itu dapat memberikan senyuman layaknya lekuknya pelangi yang dengan mudahnya membuat lekuk di bibir kita. Kita hidup di masa kini, bukan masa lalu. Jika masa lalu menyakitkanmu, sadarlah bahwa kau berada di masa kini dan sedang bergerak ke masa depan. Mengapa tidak sekali-kali kau berikan orang lain kesempatan?”

           Ibuku hanya tidak tahu, aku sudah terlalu banyak memberikan kesempatan pada orang asing untuk ikut menulis dalam buku cerita hidupku. Dan seberapa banyak orang yang menyia-nyiakan kesempatan itu dan akhirnya mencorat-coret dan merobek halaman demi halaman buku cerita hidupku itu. Aku sudah terlanjur hancur. 

08/06/2014

Surat Untuk Rangga

Lelaki dengan misteri dibalik senyumannya
Menarikku untuk kembali lagi dan lagi
Layaknya kapal yang terikat di pelabuhan tua

Ia yang dulu membangun tembok kebencian
Kini meruntuhkannya
Menggantikannya dengan pelukan sayang
Ia yang kini pergi
Bersumpah demi bintang-bintang untuk kembali
Untuk melanjutkan cerita lama yang belum selesai
Untuk mencari cinta yang hilang

Dan satu yang perlu ia tahu
Aku akan setia menunggu disini
Selalu


Terinspirasi dari film 'Ada Apa dengan Cinta?'

31/05/2014

Cerita Malam

Matahari telah pergi dari singgasananya. Telah berganti dengan Dewi Selene yang bertengger manis diantara kegelapan malam. Dan aku masih tetap disini. Belum beranjak seinci pun dari dekapannya.

Karena gelapnya malam, wajahnya mulai samar terlihat. Namun masih jelas kulihat matanya yang terpaku pada bulan purnama malam itu. Sesekali ia mengabadikannya dalam pengingat memori yang tanpa lelah melingkari lehernya. "Ia cantik sekali malam ini," ucapnya, terpukau dengan Sang Purnama.

"Ia bagai mutiara yang bersinar malam ini. Mungkin ia sedang memakai gaun terbaiknya," jawabku. "Mungkin Dewi Selene mengingat hari jadi sepasang sejoli yang jatuh tepat pada hari ini. Mungkin alam pun ingin ikut merayakannya bersama kita."

Aku melihat senyuman mengembang diwajahnya. Setelah menghabiskan sehari penuh bersama pencuri hatiku ini, aku tidak merasa lelah sedikitpun. Dan nampaknya alam pun ikut berbahagia bersama kami. Ternyata benar, jika kamu tersenyum, maka dunia pun akan ikut tersenyum bersamamu.

"Kau tahu? Ini hadiah terbaik yang pernah kudapat." Ia menggenggam tanganku, sambil masih terpaku dengan malam. "Selamat hari jadi. Kau tahu aku mencintaimu, bukan?" ucapnya. Aku tertawa kecil. Masih merasakan gelitik tak kasat mata setiap ia mengucap kata cinta.

"Ke bulan dan kembali."



26/05/2014

You, Me, and The Sky

He was the sun
Signs of a new day 
Remains in the daylight 
She was the moon
Dark and full of mystery
Placed in the cold night sky

Each and every night 
The sun died just to let
The moon rise and alive 

But the star-crossed lovers know
That they never meant for each other
Regardless, they love each other
More than they love the faith.




07/05/2014

Titik.

                Aku sering takut untuk menikmati indahnya matahari senja. Karena kutau yang kunikmati itu hanya sekejap mata. Tak bertahan hingga selamanya. Tak lama matahari senja pun akan berganti gilir dengan lekukan bulan dan taburan bintang. Dan saat aku ingin menikmatinya, tak lama sang fajar akan menggantikannya. Salah satu ketakutan terbesarku, akhir.

                Layaknya sebuah titik dalam sebuah kalimat, sebuah akhir itu memang akan mengakhiri segalanya. Dan aku selalu takut akan hal itu. Seperti tepukan tangan riang saat orang-orang menyanyikan lagu selamat ulang tahun. Seberapapun meriahnya, akan ada satu orang yang akhirnya berhenti untuk menepukkan tangannya itu. Atau bagaimana dengan saat-saat bahagia? Pasti akan ada saat dimana tawa itu akan terhenti. Dimana tidak ada lagi yang mencoba untuk menghibur satu sama lain. Dimana pembicaraan akan terhenti pada seseorang, tanpa ada seorang lagi yang berusaha untuk melanjutkannya. Ya, semua itu akan berakhir.

               Memang, setiap awalan pasti akan ada akhir. Karena memang sebelum kau memulai sesuatu, kau secara tidak sadar telah mengambil resiko untuk bertemu dengan akhir. Menghindarinya memang bisa, tapi entah bagaimana kau akan bertemu dengannya lagi. Seperti aku ini. Aku sedang menarik-narik ide entah darimana untuk membuat tanganku tetap mengetik dan membiarkan tulisan ini terurai tanpa akhir. Namun, pasti kau akan bosan membacanya. Maka dari itu, aku sudahi saja gumamku ini.

08/03/2014

Varmuus

Sabtu, 8 Maret 2014
13:56
Sebuah café kecil di Jakarta

Dia duduk terdiam
Sesekali menyeruput segelas coklat dingin dengan krim kocok diatasnya
Sesekali menoleh pada layar telepon genggamnya
Dari gerak-geriknya saja aku tahu
Ia menunggu
Diantara keramaian
Dibalik sweater abu-abunya itu
Ia memainkan jari-jarinya diatas meja kayu
Dengan aroma espresso menyelubunginya
Tatapannya tajam dan tak tenang
Ia menunggu
Menunggu sesuatu yang dirasanya tak akan datang
Menunggu hal yang tak tampak, namun dapat menenangkan jiwanya

Ia menunggu kepastian.

22/02/2014

Matahariku

            Hujan datang lagi. Sial. Sehari lagi tak bertemu dengan sang pencuri hati. Sang Bulan dapat merasakan setiap tetes hujan yang jatuh, terpecah, dan kembali bersatu dengan butiran-butiran air yang semula sendiri juga. Langit begitu kelam. Awan badai seakan mencari kekuasaan diantara infinitas langit dunia. Padahal Sang Bulan tak pernah mengundang sekawanan awan itu. Ia sudah bilang pada mereka untuk tak datang, sehari saja, agar ia bisa bertemu dengan Sang Matahari.

            Sesekali ia bercerita dengan kerabatnya, Sang Bintang, tentang jalinan cinta antara keduanya. Namun Sang Bintang berkata bahwa tak ada gunanya mencintai sesuatu yang tak mungkin dimiliki. Tetapi Sang Bulan tak mengacuhkan perkataan temannya itu. Walau hanya dalam sepersekian detik ia bertemu dengannya, Sang Matahari selalu berhasil mengambil hatinya untuk kesekian kalinya. Dan Sang Bulan hanya membiarkan hal itu berlalu.

            Ia tahu, ia tak dapat mengubah takdir. Tak dapat mengubah siang menjadi malam. Tak dapat muncul pada siang hari. Tak dapat mengalahkan sinar mentari. Ia tahu Sang Bintang ada benarnya. Tak ada gunanya mengharap akan sesuatu yang tak mungkin terjadi. Sang Bulan menangis pergi, namun tak ada yang melihat air matanya. Ia berbalik, hendak pergi saja. Ingin bersembunyi selama beberapa minggu dibalik awan kelam malam. Namun, tubuhnya mendadak bersinar. Ada apa ini? Ia berbalik, lalu tersenyum bahagia. Bahagia sekali. “Halo, matahariku.”

15/02/2014

17:59

I wish I was a robot
I have steel instead of skin
I don’t have to be insecure to how do I look
I have oil instead of blood
I don’t have to see it flows to prove I’m alive
I have machines instead of brain
I don’t have to over think things
I could just shut myself as long as I want
I wish I was a robot
No feelings, no thing

Mencintai Itu Mudah

Mencintai itu mudah
Mencintai disaat yang tepat itu sulit
Mencintai itu mudah
Mencintai luar dalam itu sulit
Mencintai itu mudah
Mempertahankan cinta itu sulit
Mencintai itu mudah
Mencintai orang yang tepat itu sulit
Mencintai itu mudah
Mencintai tanpa cerita yang rumit itu sulit

07/02/2014

February 7th 2014

Tersenyum
Hanya itu yang dapat kulakukan saat melihat
wajahmu tergores dengan senyuman yang
lebih indah dari sang bulan sabit pada
penghujung bulan.

Bahagia
Perasaan yang tersisa didalam hatiku disaat
kau itu bercerita dan bernyanyi sesuka hati,
tanpa memedulikan fakta bahwa mungkin
akan ada kecanggungan yang tumbuh
diantara percakapan itu.

Tertawa
Saat kamu melempar guyonan konyol atau
sekadar kata-kata manis padaku hanya
untuk menghiburku saat jarum jam telah
berputar tak menentu dan bintang yang
sinarnya rapuh itu telah bertebaran
bermilyar cahaya diluar sana.

25/01/2014

Distance

Watching the clouds
Flowing free in the sky
The sea is calm
Reflecting the sleepy sun
I am here
Watching the set
And I know
Somewhere
You enjoy
The same set as mine

dec'13