Suara
sayup-sayup burung gagak masih terdengar di telinga. Langit musim panas masih
benderang, walau waktu sudah menunjukkan pukul tujuh malam. Sudah lima tahun
semenjak kepindahan kami ke Jepang. Namun aku masih belum mampu untuk menerima
perbedaan yang ditawarkan negara ini. Bagaimana kebutuhan sehari-hari
bergantung pada mesin-mesin yang berjejer di jalanan. Bagaimana Jepang selalu
memberikan kejutan di setiap pergantian musim setiap bulannya. Atau keramaian
dan kesibukan orang-orangnya di pagi hari. Jepang memang indah, tetapi hatiku
ini milik Indonesia, tempat kelahiranku.
Satu-satunya alasan aku enggan untuk
kembali, adalah sosok ayahku yang sampai saat ini menjadi trauma masa kecilku.
Pada awalnya, ia memang terlihat seperti ayah yang selalu aku idam-idamkan. Aku
selalu menggores krayon dengan jari-jari kecilku dan membentuk sosok dirinya
jika guru disekolahku menanyakan siapa idola kami. Seorang tentara dengan gelar
jendral. Tak kusadari kelamaan profesinya itu memberikanku sebuah gambaran
tentang masa depanku. Aku ingin menjadi sepertinya.
Lalu semua itu berubah, dalam waktu
yang begitu singkat. Ibu seringkali berkelahi dengan Ayah pada malam hari. Berharap
aku dan adik perempuanku tidak akan mendengarnya. Salah. Aku selalu mendengar
mereka berkelahi tentang hal yang waktu itu belum kumengerti. Perselingkuhan,
alkohol, dan uang. Sejak itu, ibu lebih sering terdiam. Dan aku tahu, diamnya
itu karena beliau sudah lelah. Ia tersakiti.
Ia memutuskan untuk meninggalkan
ayahku, lelaki yang dulu ia kira ia tak akan mampu mengecewakannya. Lalu Ibu
mulai mencari pekerjaan untuk menghidupi dirinya. Untuk menghidupi aku dan
adikku. Dengan kemampuannya berbahasa Jepang, ia mendapatkan pekerjaan di
negeri sakura ini. Sejak saat itulah kami bertiga hijrah dan tak pernah menoleh
ke belakang lagi. Kami memulai semuanya dari awal.
Aku masih berjalan-jalan di kawasan Nagoya.
Menikmati keramaian dan melihat-lihat pajangan dari balik jendela toko yang
berderet lurus seperti tak berujung. Aku memegang amplop putih yang sedari tadi
kugenggam. Amplop dengan nama 'Jongga Darmawan' tertera diatasnya. Namaku. Amplop yang membuat hatiku sedari tadi gundah. Sebuah tawaran dari Indonesia
untukku pulang. Beasiswa penuh untukku melanjutkan S1. Negeriku ingin aku
kembali. Namun apa aku mampu meninggalkan keluargaku disini? Apa mampu aku
membiarkan ibu dan adik perempuanku sendiri? Tanda tanya itu masih
melayang-layang di anganku. Haus akan jawaban yang masih entah ada dimana. Aku
putuskan untuk duduk sejenak sesaat setelah aku merasakan rasa sakit di
tumitku. Diseberangku, kulihat sepasang muda-mudi duduk bersebelahan sambil
bersuap seporsi takoyaki. Mereka bercanda tawa, seakan dunia milik mereka
sendiri. Mereka terlihat bahagia. Apa itu cinta?
Aku menertawakan pikiranku sendiri.
Omong kosong soal cinta. Cinta itu tak pernah ada. Cinta itu hanya sebuah kata
dalam cerita dongeng yang wujudnya fiksi. Selama ini manusia hanya dibohongi
oleh manusia lain yang mengarang-ngarang soal perasaan yang diberi nama cinta.
Yang kutahu, cinta itu tak pernah ada. Yang ada hanyalah rasa tertarik dan
nafsu belaka. Ayahku selalu mengatakan ia mencintai ibuku. Tetapi ia tak akan
pernah menyakiti ibuku jika ia benar-benar mencintainya. Dan ibuku tak akan
mampu meninggalkan ayahku jika ia benar-benar mencintainya. Mereka tak mungkin
berpisah jika cinta itu memang ada. Semua itu bukan cinta. Semua itu hanya
nafsu belaka.
Tanpa kusadari aku sudah berjalan
terlalu lama. Langit sudah mulai kehilangan cahayanya. Sudah saatnya aku pulang.
Bukan kerumah. Melainkan ke kampung halamanku yang sebenarnya. Untuk memulai
hidupku ini. Siapa tahu, aku mendapatkan jawaban dari keingintahuanku akan
sosok cinta.
Tunggu
aku, Indonesia. Aku pulang.
No comments:
Post a Comment