16/12/2014

Apa Itu Cinta?


            Suara sayup-sayup burung gagak masih terdengar di telinga. Langit musim panas masih benderang, walau waktu sudah menunjukkan pukul tujuh malam. Sudah lima tahun semenjak kepindahan kami ke Jepang. Namun aku masih belum mampu untuk menerima perbedaan yang ditawarkan negara ini. Bagaimana kebutuhan sehari-hari bergantung pada mesin-mesin yang berjejer di jalanan. Bagaimana Jepang selalu memberikan kejutan di setiap pergantian musim setiap bulannya. Atau keramaian dan kesibukan orang-orangnya di pagi hari. Jepang memang indah, tetapi hatiku ini milik Indonesia, tempat kelahiranku.

            Satu-satunya alasan aku enggan untuk kembali, adalah sosok ayahku yang sampai saat ini menjadi trauma masa kecilku. Pada awalnya, ia memang terlihat seperti ayah yang selalu aku idam-idamkan. Aku selalu menggores krayon dengan jari-jari kecilku dan membentuk sosok dirinya jika guru disekolahku menanyakan siapa idola kami. Seorang tentara dengan gelar jendral. Tak kusadari kelamaan profesinya itu memberikanku sebuah gambaran tentang masa depanku. Aku ingin menjadi sepertinya.

            Lalu semua itu berubah, dalam waktu yang begitu singkat. Ibu seringkali berkelahi dengan Ayah pada malam hari. Berharap aku dan adik perempuanku tidak akan mendengarnya. Salah. Aku selalu mendengar mereka berkelahi tentang hal yang waktu itu belum kumengerti. Perselingkuhan, alkohol, dan uang. Sejak itu, ibu lebih sering terdiam. Dan aku tahu, diamnya itu karena beliau sudah lelah. Ia tersakiti.

            Ia memutuskan untuk meninggalkan ayahku, lelaki yang dulu ia kira ia tak akan mampu mengecewakannya. Lalu Ibu mulai mencari pekerjaan untuk menghidupi dirinya. Untuk menghidupi aku dan adikku. Dengan kemampuannya berbahasa Jepang, ia mendapatkan pekerjaan di negeri sakura ini. Sejak saat itulah kami bertiga hijrah dan tak pernah menoleh ke belakang lagi. Kami memulai semuanya dari awal.

            Aku masih berjalan-jalan di kawasan Nagoya. Menikmati keramaian dan melihat-lihat pajangan dari balik jendela toko yang berderet lurus seperti tak berujung. Aku memegang amplop putih yang sedari tadi kugenggam. Amplop dengan nama 'Jongga Darmawan' tertera diatasnya. Namaku. Amplop yang membuat hatiku sedari tadi gundah. Sebuah tawaran dari Indonesia untukku pulang. Beasiswa penuh untukku melanjutkan S1. Negeriku ingin aku kembali. Namun apa aku mampu meninggalkan keluargaku disini? Apa mampu aku membiarkan ibu dan adik perempuanku sendiri? Tanda tanya itu masih melayang-layang di anganku. Haus akan jawaban yang masih entah ada dimana. Aku putuskan untuk duduk sejenak sesaat setelah aku merasakan rasa sakit di tumitku. Diseberangku, kulihat sepasang muda-mudi duduk bersebelahan sambil bersuap seporsi takoyaki. Mereka bercanda tawa, seakan dunia milik mereka sendiri. Mereka terlihat bahagia. Apa itu cinta?

            Aku menertawakan pikiranku sendiri. Omong kosong soal cinta. Cinta itu tak pernah ada. Cinta itu hanya sebuah kata dalam cerita dongeng yang wujudnya fiksi. Selama ini manusia hanya dibohongi oleh manusia lain yang mengarang-ngarang soal perasaan yang diberi nama cinta. Yang kutahu, cinta itu tak pernah ada. Yang ada hanyalah rasa tertarik dan nafsu belaka. Ayahku selalu mengatakan ia mencintai ibuku. Tetapi ia tak akan pernah menyakiti ibuku jika ia benar-benar mencintainya. Dan ibuku tak akan mampu meninggalkan ayahku jika ia benar-benar mencintainya. Mereka tak mungkin berpisah jika cinta itu memang ada. Semua itu bukan cinta. Semua itu hanya nafsu belaka.

            Tanpa kusadari aku sudah berjalan terlalu lama. Langit sudah mulai kehilangan cahayanya. Sudah saatnya aku pulang. Bukan kerumah. Melainkan ke kampung halamanku yang sebenarnya. Untuk memulai hidupku ini. Siapa tahu, aku mendapatkan jawaban dari keingintahuanku akan sosok cinta.

            Tunggu aku, Indonesia. Aku pulang.

No comments:

Post a Comment