‘Selepas kuliah ini, aku benar-benar
harus istirahat,’ pikir Lucy sesaat sesudah sang dosen mengakhiri kelas
neurologi hari itu. Sesuai keinginan orang tuanya, ia mengambil kuliah dengan jurusan
kedokteran. Cukup sulit dan memang memakan waktu lama. Namun biologi merupakan
salah satu kecintaan Lucy pada saat ia masih duduk di bangku sekolah menengah
atas. Dan untungnya, ia hampir menyelesaikan gelar dokter umumnya. Mungkin
sekitar 4 bulan lagi. Alasan Lucy menyetujui orang tuanya untuk mempelajari
ilmu kedokteran cukup sederhana; ini merupakan salah satu wujud syukur atas
ciptaan Yang Maha Kuasa. Dan dalam profesinya, dokter berperan besar dalam
menentukan penyakit dan kelainan seseorang dan dengan sigap mengobatinya. Sejak
dulu, Lucy selalu mencari cara untuk membantu orang lain yang kesusahan. Namun
dulu ia belum memiliki kemampuan apapun untuk membantu orang lain. Ia hanya
membantu orang tuanya menyalurkan bantuan ke rumah-rumah yatim piatu. Dan
dengan kemampuannya sekarang, ia dapat lebih mudah membantu orang lain tanpa
harus merepotkan orang tuanya.
Dengan dibebani buku-buku yang cukup
tebal di bahunya, Lucy berjalan menuju keluar kampus.Matahari sudah senja.
Mencampur alunan warna biru dan jingga menjadi harmoni di langit nun jauh
disana. Suara panggilan untuk menghadap Sang Maha Kuasa pun sudah berkumandang
dimana-mana. Lucy melirik jam tangan biru di tangan kirinya dan memutuskan
untuk mencari masjid terdekat sebelum mengantar dirinya pulang. Untung saja ia
bergerak cukup cepat untuk mengejar sembahyang berjamaah. Masjid pun sedang
tidak begitu ramai, sehingga tidak mengharuskan ia untuk berdesakan dengan
orang-orang asing lainnya. Seusai sembahyang, Lucy berdiam diri sejenak dan
berdoa. Ia mengucap doa yang sama seperti yang ia ucapkan sejak dulu. ‘Tuhan,
berikanlah yang terbaik untukku dan untuk orang-orang disekitarku. Jika yang
kuterima ini dirasa bukan yang terbaik untukku, padahal itulah yang terbaik
yang kau berikan untukku, maka berikanlah aku kekuatan untuk menerima dan
menafsirkan realita. Amin.’ Tak luput juga ia mendoakan orang tuanya dan
keselamatannya di dunia dan di akhirat. Lalu Lucy berdiri, menelepas mukena dan melipatnya rapi sebelum
memasukkannya kedalam tasnya.
Ia akhirnya berjalan pulang menuju
halte bis didekat kampusnya. Namun, ada yang aneh. Tampak rasanya ada seseorang
yang mengikuti langkah Lucy yang tidak buru-buru itu. Ia menoleh kekanan dan
kekiri. Masih banyak orang disekitarnya, jaga-jaga jika seseorang yang
dirasanya mengikutinya ini membahayakan dirinya. Ia mulai mengingat-ingat ilmu
aikido yang dahulu pernah ia pelajari sewaktu sekolah menengah atas. Dengan
gelarnya yang sudah mencapai Dan I, ia tak akan membuat orang yang mengikutinya
ini merasa menang atas rasa takut Lucy. Ia mulai mengambil langkah cepat, dan
didengarnya langkah orang yang dibelakangnya mengikuti irama langkahnya. ‘Orang
ini benar-benar mengikutiku!’ pikirnya. Lalu Lucy memutuskan bahwa ia akan
memergoki orang ini sedang mengikutinya. Sesaat sebelum ia akan menyebrang ke
halte bis, ia mendadak menghentikan langkahnya dan berbalik badan. Lantas orang
yang dibelakangnya itu menabraknya dan hampir membuatnya terjatuh. Namun orang
itu juga cekatan. Dengan tangannya ia mencengkram bahu Lucy untuk menahannya
tidak terjatuh. Lucy menyadari bahwa itu adalah sepasang tangan lelaki. Lalu ia
memberanikan diri untuk menatap wajah lelaki itu.
“Jude? Ini
kamu?” ucap Lucy kaget.
“Jadi benar
ini kamu.” Jude melepaskan cengkramannya dan membiarkan Lucy berdiri terpaku
dihadapannya. “Maaf jika aku menakutkanmu. Aku sudah menduga itu kamu. Tapi aku
kurang yakin. Dan aku tak ingin menyapa orang yang salah. Maka aku putuskan
untuk mengikutimu dulu,” jelasnya. Dilihatnya pemuda dengan postur gagah
berdiri dihadapannya mengenakan kaos biru tua dan jeans. Ini benar Jude.
“Apa yang
kau lakukan disini? Bukannya kamu menuntut ilmu di Australia?” tanya Lucy,
masih merasa bingung dan kaget.
“Aku baru
saja menyelesaikan sekolah memasakku disana. Aku ingin menambah ilmu bisnis
disini. Orang tuaku pun ingin aku tidak kuliah jauh-jauh lagi dari mereka,”
lalu Jude berhenti sejenak dan melanjutkan perkataannya, “Lucy, ini sudah
hampir malam. Apa tidak seharusnya kita pergi ke suatu tempat untuk berbincang?
Sudah lama aku tak bertemu denganmu. Aku merindukanmu.” Lucy yang masih tak
percaya dengan pertemuannya dengan Jude hanya diam bergeming hingga akhirnya ia
mengangguk pelan. “Tapi jangan terlalu larut. Aku ada tes untuk besok.” Lalu,
sepasang manusia yang lama tak bertemu itu melesat pergi ke kedai kopi
terdekat.
Lucy memesan green tea latte untuk
menyegarkan pikirannya. Ia ingat ia pernah diberitahu oleh ibunya bahwa teh
hijau dapat membantu tubuhnya agar tidak mudah kelelahan. Lucy butuh sesuatu
yang seperti itu saat ini. Sedangkan Jude memesan passion fruit dengan
balok-balok es yang mengambang diantaranya. Sangat tidak cocok dengan cuaca
malam itu yang dingin. Mereka memutuskan untuk duduk didekat jendela. Sang
Bulan yang kedinginan ditiup angin, memilih gumpalan awan tebal sebagai
selimutnya. Membuatnya bagaikan mutiara yang menggantung diantara kelamnya
langit. Sambil menyeruput minumanny, Lucy mencoba untuk memecah balok es tak
kasat mata diantara mereka. “Jadi, apa yang kamu lakukan di kampusku tadi?”
Ia memutar-mutar sedotannya dengan pola gerakan yang sama.
Tak melepaskan pandangannya dari minumannya. “Aku memang sedang mencari-cari
universitas untuk sekolah bisnisku. Lima hari terakhir ini hanya aku habiskan
dengan pertemuan keluarga lagi, lagi, dan lagi. Tak ada salahnya aku memulainya
dari sini,” ia berhenti sejenak, lalu melanjutkan, “Dan beberapa hari sebelum
penerbanganku ke Indonesia, aku sibuk membolak-balik lagi buku tahunanku dan
mencari teman-teman lama yang masih bisa dihubungi. Lalu aku berhasil
menghubungi Rama. Kau ingat Rama, kan? Lelaki yang mengalahkanmu di seleksi olimpiade
sains dulu.”
Lucy mengangguk. Masih tersimpan dipikirannya tentang lelaki yang
dimaksud Jude. Rama. Saat itu Lucy masih duduk dikelas sebelas. Sekolahnya
memutuskan untuk mengikutsertakan diri pada suatu olimpiade sains tingkat
nasional. Dan setelah mengalami seleksi ketat, akhirnya tersisa Lucy dan Rama.
Rasanya Lucy telah belajar keras berminggu-minggu yang lalu. Tetapi itu semua
tidak pernah cukup. Rama yang pada akhirnya mewakilkan sekolahnya untuk
olimpiade sains itu. Lucy pulang dengan perasaan yang cukup sedih. Namun
setelah pemikiran panjang, kejadian tersebut memberikan Lucy pelajaran bahwa
tak pernah ada salahnya untuk mencoba dan gagal. Tak selamanya hidup itu
memberikan apa yang kita mau.
“Aku berhasil menghubunginya dan kuketahui bahwa ia sekarang
berada di universitas di Yogyakarta. Lalu aku menanyakannya tentang dirimu.”
Lucy tersentak diam. Jude kemudian menatap matanya itu. Tatapan itu tak pernah
berubah sejak dulu. Masih seperti yang diingat Lucy. Bahkan bekas luka yang
membekas di dahi Jude, masih ada di tempatnya. Masih membekas sebagai ciri
khasnya. Hal yang dulu sempat dianggap Lucy menarik.
“Kami akan membawakan suatu lagu dari salah satu band favorit
saya, The Beatles!” Vokalis dari live music di kedai kopi malam itu kemudian
menyanyikan lagu ‘Hey Jude’ yang menurut Lucy, dibawakan dengan indah. The
Beatles memang sudah menjadi salah satu kelompok musisi favorit Lucy. Dan Jude.
“Aku masih ingat saat dulu setiap kita berdua mendengar lagu
ini atau lagu ‘Lucy in the Sky with Diamonds’, kita selalu berpikir bahwa The
Beatles memang sengaja membuatkan lagu ini untuk kita. Bahwa memang seharusnya
kita itu, entah bagaimana, walau dipisah oleh sebuah dimensi lain, akan tetap
dipertemukan lagi dan lagi.”
“Orang tua kita berdua memang menyukai The Beatles, Jude. Dan
kita berdua ini memang korban dari para orang tua yang adalah penggemar berat
dari kelompok musisi legendaris sepanjang masa. Dan untuk bertemu denganmu,
kurasa memang hanya sebuah kebetulan,” tutur Lucy. Green tea latte yang sedari
tadi diminumnya, kini telah menunjukkan dasarnya. Ia mendesak untuk membeli
secangkir lagi. Ia rasa ia tak mampu menjalankan suatu percakapan tanpa
secangkir minuman atau seporsi makanan didepannya. Bukan karena ia lapar.
Melaikan Lucy tak biasa dengan orang asing. Jadi makanan atau minuman yang
berada dihadapannya itu beralih fungsi dari sesuatu untuk mengganjal perut
menjadi objek untuk menghindari kontak mata yang canggung. Sedangkan Jude
memutuskan untuk membeli seporsi kue mangkuk vegetarian.
“Kau tahu, aku tak pernah percaya dengan kebetulan. Semua itu
memang sudah tertulis sejak dulu. Masa kau tidak percaya dengan takdir?” Ia
bertanya pada Lucy, heran.
“Yang aku percaya, takdir itu tiap individu itu sendiri yang
menentukan. Bagaimana jika dibuku takdir itu tertulis kau akan memesan kue
mangkok rasa coklat dengan taburan coklat keping diatasnya namun pada akhirnya
kau memilih untuk menyuap kue mangkok vegetarian yang rasanya mungkin sama
buruknya dengan kue gagal buatan ibuku hanya untuk menjaga bentuk badanmu itu.
Kuperhatikan tadi kau mencengkamku cukup kuat. Angkat beban?” Jude tertawa
mendengar Lucy berceloteh ria. Kelompok musik yang tampil malam itu membawakan
lagu-lagu yang cukup meriah. Membuat Jude tergelitik untuk menggoda Lucy lagi
dan lagi. ‘Ia masih sama seperti dulu. Menggemaskan,’ pikir Jude.
“Sebenarnya aku mengidap diabetes sejak aku pindah ke
Australia. Aku harus menjaga makananku dengan mengkonsumsi makanan organik dan
vegetarian. Dan ya, rasanya memang buruk sekali.” Lucy tertawa dan menatap Jude
dengan tatapan sudah-kuduga-itu. “Lalu dokter menyarankan untuk meningkatkan
waktu latihanku di pusat kebugaran. Ya, kurang lebih hasilnya begini.” Jude
memamerkan tangannya yang lumayan berotot layaknya ia seorang binaragawan di
sampul majalah. “Akhirnya akan kulihat seorang chef dengan badan atletis. Bukan
chef yang bertubuh gempal dengan pisau ditangan kanannya. Membuatku memiliki
gambaran bahwa ia tukang makan yang sebenarnya adalah psikopat lihai dan
bersiap untuk membunuhku.” Jude tertawa sekali lagi. Lucy memang selalu dikenal
dengan selera humornya yang tinggi. Hal itu juga yang membuatnya rindu kepada
gadis berambut ikal itu.
Jam menunjukkan pukul 10 malam. Lucy sudah menyeruput habis
minumannya dan ia tahu sudah saatnya untuk pulang. Ia harus mempersiapkan diri
untuk besok. Neurologi adalah salah satu kelemahannya dalam kelas kedokteran.
“Aku harus pulang.” Jude menunjukkan wajah sedih dan kecewa. Tapi ia tahu bahwa
ia tak dapat mencegahnya untuk pergi. Menjadi mahasiswa di bidang kedokteran
memang sangat menyita waktu. Tapi tak ada salahnya mencoba. “Tak bisa tinggal
sebentar lagi? Aku masih menikmati pertemuan kita.” Lucy mulai mengemas
barangnya. Buku-bukunya yang tebal disandangnya lagi di lengannya. “Kau tahu
aku harus pulang, Jude. Mungkin lain waktu.” Jude berdiri mengikuti Lucy yang
mulai berjalan dengan langkah cepat kearah pintu keluar. “Besok?” Jude
bertanya, mencegat Lucy untuk keluar. Lucy menghela nafas panjang.
“Jude, aku tak ingin kita mencoba lagi menjalin tali-tali
hubungan kita yang memang seharusnya sudah terpisah. Tak ada gunanya lagi
membuang waktu dan tenaga untuk mencoba menjalinnya kembali. Aku pun sebenarnya
juga merindukanmu, Jude. Namun aku tak dapat melupakan saat dimana kau pergi
dan menghilang begitu saja tanpa kabar sedikitpun. Aku disini merindukanmu.
Bertanya-tanya tentang dirimu. Menanti kapan orang yang kusayangi ini akan
hadir disampingku saat pagi hari dan menjadi orang yang pertama kutatap
matanya. Aku menanti kapan telepon genggamku akan dipenuhi dengan pesan singkat
darimu yang berisi tentang dirimu yang juga merindukanku dan menanti kapan kita
akan dipertemukan lagi oleh Sang Waktu. Namun, semua itu hanya khayalku. Dan
memang bukan tugas Sang Takdir untuk membuatku bahagia. Maka dari itu aku
mencoba untuk membuat diriku sendiri bahagia. Tak ada gunanya mengandalkan
takdir. Lebih baik aku mencoba untuk menulis takdirku sendiri. Dan pada
kenyataannya, cahaya surya yang setiap pagi masuk menumbus jendela kamarku dan
menatap mataku untuk pertama kalinya. Dan telepon genggamku hanya berisi pesan
singkat dari operator dan beberapa pesan penipuan yang mengatasnamakan orang
tuaku yang meminta kiriman uang.”
“Lucy. . .” Sebelum Jude melanjutkan kalimatnya, Lucy
melanjutkan ucapannya, “Lalu kudengar kau menemukan gadis lain untuk ditatap
matanya dan untuk dicintai. Pelajar asal Indonesia juga, bukan? Ya, aku tahu.
Pada saat itu, rasanya hatiku bagai ditusuk oleh serpihan kayu. Memang hanya
serpihan, namun sakitnya luar biasa. Lalu aku mencoba untuk mengikuti arus
kehidupan yang mengalir terus menerus tanpa henti. Aku memutuskan untuk pergi
dari masa lalu, Jude. Aku memutuskan untuk pergi dari dirimu yang semu di
hidupku. Dan kupikir itu cukup menjelaskan semua.” Lucy melangkah pergi dengan
cekatan. Meninggalkan Jude yang terpaku dalam perasaan kaget bercampur sedih diambang
pintu kedai kopi. “Lagu ini akan menutup jumpa kita malam ini. Kami ucapkan
terima kasih!” Live music mulai memainkan lagu The Scientist yang aslinya
dibawakan oleh grup musik asal Inggris bernama Coldplay. Lagu yang pas untuk
Jude yang sedang dirudung rasa menyesal. Gadis yang seharusnya berada
didekapannya, kini serasa berada jauh diujung dunia. Dan hanya satu yang Jude
inginkan saat itu. Kembali ke masa lalu dan memperbaiki semuanya. Agar Lucy pun
mengerti bahwa hanya dirinyalah yang ada dihati Jude. Namun, ia tahu semua itu
hanya angan semata. Lucy telah pergi.
No comments:
Post a Comment