Hujan datang lagi. Sial. Sehari lagi tak bertemu
dengan sang pencuri hati. Sang Bulan dapat merasakan setiap tetes hujan yang
jatuh, terpecah, dan kembali bersatu dengan butiran-butiran air yang semula
sendiri juga. Langit begitu kelam. Awan badai seakan mencari kekuasaan diantara
infinitas langit dunia. Padahal Sang Bulan tak pernah mengundang sekawanan awan
itu. Ia sudah bilang pada mereka untuk tak datang, sehari saja, agar ia bisa
bertemu dengan Sang Matahari.
Sesekali
ia bercerita dengan kerabatnya, Sang Bintang, tentang jalinan cinta antara
keduanya. Namun Sang Bintang berkata bahwa tak ada gunanya mencintai sesuatu
yang tak mungkin dimiliki. Tetapi Sang Bulan tak mengacuhkan perkataan temannya
itu. Walau hanya dalam sepersekian detik ia bertemu dengannya, Sang Matahari
selalu berhasil mengambil hatinya untuk kesekian kalinya. Dan Sang Bulan hanya
membiarkan hal itu berlalu.
Ia tahu, ia tak dapat mengubah takdir. Tak dapat mengubah siang menjadi malam. Tak dapat muncul pada siang hari. Tak dapat mengalahkan sinar mentari. Ia tahu Sang Bintang ada benarnya. Tak ada gunanya mengharap akan sesuatu yang tak mungkin terjadi. Sang Bulan menangis pergi, namun tak ada yang melihat air matanya. Ia berbalik, hendak pergi saja. Ingin bersembunyi selama beberapa minggu dibalik awan kelam malam. Namun, tubuhnya mendadak bersinar. Ada apa ini? Ia berbalik, lalu tersenyum bahagia. Bahagia sekali. “Halo, matahariku.”
No comments:
Post a Comment