15/10/2013

Tell Laura I Love Her

           Gadis itu masih termenung dibalik jendela rumahnya. Pesona taman Belanda yang ada di rumahnya tak mampu menyentil rasa tak sabarnya menunggu surat-surat dengan isi yang ia tunggu-tunggu. Bukan, bukan surat cinta. Melainkan surat jawaban dari seluruh penjuru dunia tentang artikel yang ia cantumkan di koran pagi seminggu yang lalu.  Prangko. Seorang gadis muda yang begitu menyukai gambar-gambar unik yang biasa disisipkan di amplop surat. Dia bukan tipe seorang gadis yang senang berdiam diri sambil bermain boneka layaknya seorang anak gadis seperti biasanya. Ia lebih suka menikmati harumnya pohon kelengkeng ayahnya saat musim panen tiba. Ia senang memanjat sendiri dengan kaki-kaki mungilnya untuk menikmati sebuah—atau mungkin banyak—kelengkeng yang nikmat rasanya. Namun hari ini berbeda. Bukan saatnya untuk memetik kelengkeng-kelengkeng itu. Mereka semua masih bersembunyi dibalik ketersipuan benih-benih muda. Hari ini gadis itu menunggu prangko yang telah ia pinta kepada dunia, sesama filatelis seperti dirinya. Walaupun dia sendiri masih amatir dalam bidang itu.

            Penantian yang panjang itu terbalas oleh suara langkah ibu yang berlari kearahnya sambil menimang beberapa buah kertas ditangannya. Sang gadis itu kegirangan. Ia pun berlari mengejar ibunya. Mereka membuka satu persatu amplop tersebut. ‘To: Laura’  begitulah yang tergores di amplop-amplop itu. Sang gadis itu membaca surat itu sambil tangannya menderetkan prangko-prangko yang telah disisipkan oleh pengirim surat-surat itu. Ada seorang lelaki yang mengiriminya prangko dan uang 10$ untuk membalas suratnya yang datangnya dari negeri Paman Sam. Ada pula orang-orang yang lebih tua yang mengirim prangko pada sang gadis. Laura, begitulah biasa gadis kecil itu dipanggil, begitu girang dapat menaruh prangko-prangko itu di album foto yang dikhususkan untuk menaruh koleksinya. Album bersampul coklat yang dibelikan ibunya di ulang tahunnya yang ke 7. Album prangko pertamanya. Sang ibu tersenyum bahagia, melihat putri sulungnya menggambar perasaan bahagia pada mata cokelatnya.

           Tinggallah sebuah surat yang masih tergeletak dilantai. Belum tersentuh apalagi dibuka. Sang ibu membiarkan Laura membuka surat terakhir untuk dirinya. Laura merobek kertas amplop itu pelan-pelan. Dan didalamnya dia menemukan sebuah surat, dengan beberapa prangko disisipkan didalamnya. Seorang lelaki bernama Tommy mengiriminya surat itu. Surat yang ditulis tangan dengan tulisan yang indah dan aroma pena yang masih kental itu, berisi surat perkenalan diri yang Laura pun tak pernah menyadari akan membawanya kesini. Kesaat dimana perjuangannya berbuah manis menuju jalanan cinta.



           Laura tumbuh menjadi gadis yang mandiri, berjalan sendiri di realita dunia tanpa bayang-bayang orang tuanya. Ia bertemu Tommy, seorang lelaki yang berjangka sembilan tahun darinya. Seorang yang pendiam namun penuh kejutan. Laura tak pernah menyangka, artikel yang ia kirim di koran dan kecintaannya ia pada prangko telah membawanya menemui Tommy, yang sekarang berubah menjadi seseorang tempat dimana Laura berbagi nafasnya. Aku senang mendengar kisah mereka. Entah itu kisah yang bahagia atau yang menghasilkan air mata. Kisah mereka begitu menarik untuk didengar. Laura pernah bercerita padaku bahwa semua yang terjadi adalah takdir, namun aku tak mempercayainya. Hingga pada akhirnya pada suatu malam Kamis—malam dimana ia selalu bercerita padaku dan terkadang memberikan celotehan tentang arti kehidupan—ia menceritakan sebuah kisah yang mengubah definisi takdir dalam diriku selama-lamanya.

           Malam itu hujan. Kami sedang duduk di sofa kesayangan kami. Suatu hal yang kami sering perebutkan untuk mendudukinya. Namun, malam ini kami memutuskan untuk berbagi singgasana. Awalnya kami berdua menikmati acara TV yang hampir setiap malam selalu muncul di kotak ajaib itu. Kami awalnya terdiam. Tenggelam dalam dengungan televisi dimalam hari. Hingga akhirnya aku bercerita pada Laura, tentang hari-hari burukku di sekolah. Ia mendengarkan seksama. Ia hanya terdiam dan sesekali mengangguk. Setelah aku benar-benar selesai, ia menjawab cerita dan pertanyaanku perlahan, seraya menyisipkan kata-kata mutiara sebagai bekal hidupku mendatang.

           Lalu dia mulai menceritakan masa lalunya, tentang seseorang bernama Tommy. Ia benar-benar bercerita dari awal mereka tahu satu sama lain. Hingga menceritakan perjuangannya melawan arus kehidupan bersamanya. Aku menyimak ceritanya, cerita yang mungkin sudah diceritakannya ribuan kali. Namun, tiap kali dia menceritakannya kembali, selalu ada cerita baru yang dikupas olehnya. Aku tak berkomentar, hingga akhirnya dia menceritakan asal-muasal darimana ibunya mendapat namanya, Laura.


           Pada suatu sore, dimana matahari bersinar begitu terangnya. Laksana dirinya tak mau kembali menari didalam mimpinya, hanya semalam saja. Matahari rasanya menolak untuk pergi. Masih setia menemani seorang perempuan yang sedang bergumam sendirian sambil ditemani radio tua yang diliput debu. Sang angin masih menemaninya juga, mendampingi wanita ini merajut sebuah baju. Baju untuk putri kecil yang belum dimilikinya itu. Ia sudah memimpikan untuk memiliki anak Hawa. Namun Tuhan belum mengijinkan impiannya bertemu realita. Belum, belum saatnya. Ia masih merajut sebuah baju cantik dengan benang merah dan oranye, warna senada dengan sang senja. Alunan lagu yang ia dengar dari radio silih berganti. Ia menunggu lagu kesukaannya beralun di udara. Hingga tepat saat matahari pergi meninggalkannya, ia akhirnya mendengar lagu kesukaannya. Tell Laura I Love Her. Sebuah lagu cinta tragis namun memiliki makna yang ia senangi. Tentang cinta sejati. Saat itu juga, saat bulan meninggikan kedudukannya di langit hitam, ia bergumam. Kali ini lebih mirip sebuah janji. Ia bergumam, jika suatu hari ia memiliki seorang hawa mungil, ia akan menamainya Laura. Dan dari detik itu, janjinya ia ikat. Di sebuah bintang berkedip tersipu, di sebuah keheningan malam, dan wajahnya yang diterangi rembulan malam.


           Laura tersadar dari gema memori masa lalunya. Ia kembali bercerita tentang lagu yang membuatku penasaran setengah mati, Tell Laura I Love Her. Sebuah lagu cinta yang jarang kutemui, yaitu kisah cinta tragis antara dua orang sejoli. Antara Laura dan lelaki idamannya. Rasa penasaran inilah yang akhirnya membuatku menelusur jejaring internet karena rasanya tak mungkin menemukan lagu ini di toko-toko kaset biasa, apalagi matahari sudah tertidur lelap di khatulistiwa. Dan akhirnya, rasa penasaranku terjawab sudah. Namun memunculkan tanda tanya baru saat aku memahami bait demi bait lagu tersebut.

Laura and Tommy were lovers
He wanted to give her everything
Flowers, presents, but most of all, a wedding ring

He saw a sign for a stock car race
A thousand dollar prize it read
He couldn't get Laura on the phone
So to her mother, Tommy said

Tell Laura I love her
Tell Laura I need her
Tell Laura I may be late
I've something to do, that cannot wait

He drove his car to the racing grounds
He was the youngest driver there
The crowed roared as they started the race
Around the track they drove at a deadly pace

No one knows what happened that day
Or how his car overturned in flames
But as they pulled him from the twisted wreck
With his dying breath, they heard him say

Tell Laura I love her
Tell Laura I need her
Tell Laura not to cry
My love for her will never die

Now in the chapel where Laura prays 
For her poor Tommy, who passed away
It was just for Laura he lived and died
Alone in the chapel she can hear him cry



Sebuah hal tragis yang terjadi pada Tommy, sang cintanya. Dan, coba tebak, ternyata Laura memiliki isi hati yang perlu dikumandangkan juga.


Tommy my sweetheart is gone now
He's up in heaven somewhere
So little star high above
If you see Tommy tell him of my love.

Tell Tommy I love him
Tell Tommy I miss him
Tell him though I may try
My love for him will never die.

He drove his car in that stockcar race
To win money so we could wed
He wanted so much to make me his wife
Now our love lives on though he lost his life.

I'm so lonely without him near
Oh, how I miss his warm embrace
I'll love no other I want him to know
Oh, little star please tell him so.

Tell Tommy I love him
Tell Tommy I miss him
Tell him though I may try
My love for him will never die.

Although he wanted to give me the world
Why did he do such a reckless thing
Little star he should have realized
I was richer than a queen when he looked into my eyes.


Tell Tommy I love him
Tell Tommy I miss him
Tell him though I may try
My love for him will never die.

Tell Tommy I miss him.
Tell Tommy I miss him...

           Laura selalu membiarkan air matanya berlinang setiap ia mendengar lagu itu dilantunkan. Ia berucap padaku, ia memiliki suatu perasaan takut yang merasuk tengkuknya, jikalau Tommy miliknya mengalami hal yang sama dengan lagu yang berkumandang itu. Namun ia juga mengerti tentang jalan hidup yang berujung pada kematian. Ia mengerti, hanya tak mau membiarkan Tommy miliknya pergi.

           Melihatnya berlinang air mata, aku pun juga ikut tenggelam dalam lautan air mata. Aku adalah orang yang tak pernah bisa melihat orang lain bersedih. Itu sebabnya aku dikenal sebagai pribadi yang humoris. Aku selalu ingin menggurat senyuman di wajah setiap orang, tanpa memedulikan kebahagiaan diriku sendiri.

           Setelah mendengar cerita Laura, aku mulai mempercayai bahwa takdir itu benar adanya. Ada disekeliling kita. Berterbangan bagai partikel udara untuk memberi cuplikan tentang masa depan. Diriku, yang dahulu tak percaya akan takdir cinta, seakan dibuat tersentak dengan kisah kedua manusia fana ini, Tommy dan Laura.





Happy 15th Wedding Anniversary for Tommy and Laura
October 15th, 2013

New York, US

No comments:

Post a Comment