13/09/2013

Dua Sudah Lebih dari Cukup

“Kamu mau kemana? Kenapa terburu-buru begitu?”
Dengan sebuah tiket yang digenggamnya, ia terdiam.
Hanya tertunduk diterpa angin malam.

23 Agustus 1987

Hari Minggu malam pada musim gugur. Daun melayang-layang diterpa udara malam. Lampu remang yang bergoyang berdecit.  Suasana begitu seram dan sepi. Hanya ada aku, dia, dan beberapa calon penumpang yang dapat dihitung dengan jari-jemari.

“Aku mau pergi. Mungkin tak kembali.”

Sesekali orang asing membuat suara langkah kaki. Membuat kita berdua canggung. Aku menahan air mata, namun tak mampu. Dia tampak biasa saja. Dengan ekspresi datar. Mungkin memang tak menyadari Sang Dara sedang lara. Ia hanya terdiam menunggu tumpangannya datang.

“Aku ingin menjauh dari dunia ini. Memulai semua dari awal. Aku ingin mengejar mimpi.”

“Lalu aku harus bagaimana?”

“Tak usah ikut. Kamu disini saja, mengerjar mimpimu juga. Aku tahu kamu ingin jadi pemain opera yang handal. Memang itu keahlianmu bukan?”

                Bahkan dari jarak yang lumayan jauh, aku masih dapat mencium bau anggur dan tembakau dibalik mantelnya. Mantel coklat tua yang aku belikan disaat ulang tahunnya ke 21. Tuhan, aku benci berpisah.

                Dia memalingkan wajah ke jam tangan antik didalam sakunya.

“Memang aku tak bisa ikut denganmu? Kita kejar mimpi bersama. Kita lalui bersama.”

    Aku mengelap air mataku untuk kesekian kalinya.

“Seperti yang aku bilang, aku ingin sendiri. Bukan berarti aku tak menyukaimu. Hanya saja aku rasa aku harus menjalani ini sendiri. Agar tak ada beban, agar tak ada yang terpikirkan.”

                Aku menarik nafas panjang. Berusaha meyakini diriku bahwa tekadnya sudah kuat untuk pergi. Untuk menjauh dariku. Untuk mencari yang lebih baik. Aku mendengar suara kereta dari kejauhan. Pengeras suara tiba-tiba menyala, memecah kesepian.

‘Kereta malam ke Lisbon akan segera tiba. Bagi penumpang yang sudah memiliki tiket, diharapkan mempersiapkan diri untuk menaiki kereta. Terima kasih.’

“Sudah dulu, aku pergi. Jaga dirimu.”


                Ia memelukku dan mengecup keningku. Aku menatap mata hijaunya sekali lagi. Mengetahui bahwa aku tak akan melihatnya lagi. Dan dalam hitungan detik, ia sudah tiada. Terbawa oleh badan kereta menuju Lisbon. Pergi, menjauh. Dan tanganku ini terasa hampa tanpa menggenggam miliknya. Semua tak akan sama lagi. Tak akan pernah sama.

No comments:

Post a Comment