“Kamu mau kemana? Kenapa
terburu-buru begitu?”
Dengan sebuah tiket yang
digenggamnya, ia terdiam.
Hanya tertunduk diterpa angin
malam.
23 Agustus 1987
Hari Minggu
malam pada musim gugur. Daun melayang-layang diterpa udara malam. Lampu remang
yang bergoyang berdecit. Suasana begitu
seram dan sepi. Hanya ada aku, dia, dan beberapa calon penumpang yang dapat
dihitung dengan jari-jemari.
“Aku mau pergi. Mungkin tak
kembali.”
Sesekali orang
asing membuat suara langkah kaki. Membuat kita berdua canggung. Aku menahan air
mata, namun tak mampu. Dia tampak biasa saja. Dengan ekspresi datar. Mungkin
memang tak menyadari Sang Dara sedang lara. Ia hanya terdiam menunggu
tumpangannya datang.
“Aku ingin menjauh dari dunia
ini. Memulai semua dari awal. Aku ingin mengejar mimpi.”
“Lalu aku harus bagaimana?”
“Tak usah ikut. Kamu disini saja,
mengerjar mimpimu juga. Aku tahu kamu ingin jadi pemain opera yang handal.
Memang itu keahlianmu bukan?”
Bahkan
dari jarak yang lumayan jauh, aku masih dapat mencium bau anggur dan tembakau
dibalik mantelnya. Mantel coklat tua yang aku belikan disaat ulang tahunnya ke
21. Tuhan, aku benci berpisah.
Dia
memalingkan wajah ke jam tangan antik didalam sakunya.
“Memang aku tak bisa ikut
denganmu? Kita kejar mimpi bersama. Kita lalui bersama.”
Aku mengelap
air mataku untuk kesekian kalinya.
“Seperti yang aku bilang, aku
ingin sendiri. Bukan berarti aku tak menyukaimu. Hanya saja aku rasa aku harus
menjalani ini sendiri. Agar tak ada beban, agar tak ada yang terpikirkan.”
Aku
menarik nafas panjang. Berusaha meyakini diriku bahwa tekadnya sudah kuat untuk
pergi. Untuk menjauh dariku. Untuk mencari yang lebih baik. Aku mendengar suara
kereta dari kejauhan. Pengeras suara tiba-tiba menyala, memecah kesepian.
‘Kereta malam ke Lisbon akan segera tiba.
Bagi penumpang yang sudah memiliki tiket, diharapkan mempersiapkan diri untuk
menaiki kereta. Terima kasih.’
“Sudah dulu, aku pergi. Jaga
dirimu.”
Ia
memelukku dan mengecup keningku. Aku menatap mata hijaunya sekali lagi. Mengetahui bahwa aku tak akan melihatnya lagi. Dan dalam hitungan detik, ia
sudah tiada. Terbawa oleh badan kereta menuju Lisbon. Pergi, menjauh. Dan
tanganku ini terasa hampa tanpa menggenggam miliknya. Semua tak akan sama lagi.
Tak akan pernah sama.
No comments:
Post a Comment