04/09/2013

Ibuk

Malam yang sunyi itu begitu gelap. Sang bulan pergi entah kemana. Bintang-bintang tak banyak muncul, seperti ditelan kegelapan malam.

Di patio itu, dibawah cahaya lampu listrik yang seadanya, seorang wanita duduk. Melipat tangannya dengan bunga melati yang habis dipetik ditangannya. Wanginya memenuhi udara. Memberi kesan angker dan mencekam.

Aku membuka mulut. Mencoba memecah keheningan malam. "Bu, ada yang salah?". Beliau menatapku dalam. Dengan mata senja dan sedihnya. Membuat hatiku iba ingin menangis. "Lelah ibu nak, kamu tidak lihat ada apa dengan tempat yang kita pijak ini?" ucapnya dengan suaranya yang rapuh itu. Aku menggeleng, tanda tak tahu. Beliau memejamkan mata, menarik nafas panjang sebelum kembali berbicara padaku.
"Nak, kamu tidak lihat tikus-tikus berkeliaran tanpa malu? Bagaimana bintang bertebaran tanpa ada yang melihat cahayanya? Bagaimana orang mengisi perut mereka, menyenangkan diri, sedangkan orang lain kelaparan hingga mati? Kapan ibu bisa mencium harum melati di tanah yang kita pijak ini, nak?". Di keheningan malam, aku dengar beliau terisak kecewa. Aku ingin menenangkannya, menghapus air matanya, melukis guratan senyum di wajahnya.

Tapi aku tak bisa. Aku tak mampu. Karena kurasa aku ini hanya aku. Seorang anak biasa yang tak bisa apa-apa. Aku hanya dapat menyaksikan sang saksi bisu terduduk merintih kesakitan diantara kebisingan dunia. aku tak dapat membanggakannya. Aku tak dapat mengharumkan Ibu Pertiwi.

Maaf, Bu.

No comments:

Post a Comment