Kita disini. Diantara para makhluk asing yang lain.
Dikelilingi oleh fikiran dan perasaan kita sendiri. Kita duduk ̶
lebih tepatnya tak berdaya ̶ dibawah naungan sang senja yang
perlahan tinggal bayang. Yang kudengar hanya suara saru sang merpati yang
mencari jalan pulang dan suara nafasmu.
“Indah, bukan?”
Ia sesaat terdiam sebelum akhirnya menjawab.
Dengan sebuah pengingat memori terkalung di lehernya, ia mencuri-curi momen yang penuh ketenangan ini. Momen dimana hanya ada aku, dia, bayangan kami, dan sang matahari yang mengantuk, katanya.
“Matahari yang
mengantuk itu memang selalu terlihat indah."
“Bukan. Bukan itu yang indah. Melainkan cerita dibalik semua
ini. Sebuah cerita dimana sang surya begitu mencintai sang bulan. Ia mati disetiap
hening malam untuk membiarkan separuh jiwanya itu bernafas.”
Ia hanya terdiam. Terpaku dengan jawabanku itu. Tentang
cerita nyata yang terlihat oleh mata namun kadang tak terasa dihati. Mungkin ia
mulai merasakannya juga.
Aku mengangguk.
“Maksudmu, selama ini kita menjadi saksi mata dari
kisah cinta yang indah ini?”
Aku mengangguk.
“Indah, bukan?”
“Cerita kita juga
indah, bukan?”
Sesaat sebelum bayangku pergi, aku tersenyum didekapannya.

No comments:
Post a Comment