13/09/2013

Cerita Senja

Kita disini. Diantara para makhluk asing yang lain. Dikelilingi oleh fikiran dan perasaan kita sendiri. Kita duduk ̶ lebih tepatnya tak berdaya ̶ dibawah naungan sang senja yang perlahan tinggal bayang. Yang kudengar hanya suara saru sang merpati yang mencari jalan pulang dan suara nafasmu.

“Indah, bukan?”

Ia sesaat terdiam sebelum akhirnya menjawab.

“Matahari yang mengantuk itu memang selalu terlihat indah."

Dengan sebuah pengingat memori terkalung di lehernya, ia mencuri-curi momen yang penuh ketenangan ini. Momen dimana hanya ada aku, dia, bayangan kami, dan sang matahari yang mengantuk, katanya.

“Bukan. Bukan itu yang indah. Melainkan cerita dibalik semua ini. Sebuah cerita dimana sang surya begitu mencintai sang bulan. Ia mati disetiap hening malam untuk membiarkan separuh jiwanya itu bernafas.”

Ia hanya terdiam. Terpaku dengan jawabanku itu. Tentang cerita nyata yang terlihat oleh mata namun kadang tak terasa dihati. Mungkin ia mulai merasakannya juga.

“Maksudmu, selama ini kita menjadi saksi mata dari kisah cinta yang indah ini?”

Aku mengangguk.

“Indah, bukan?”

Lalu, tanpa kusadari, ia merangkulku. Seiring sang senja menghembus nafas terakhir untuk sang bulan, ia berkata,

“Cerita kita juga indah, bukan?”

Sesaat sebelum bayangku pergi, aku tersenyum didekapannya.



No comments:

Post a Comment