Ia
tidak pernah mengatakan apapun. Hanya diam saja. Aku tanya, ia tak menjawab.
Aku tersenyum, ia tak pernah melihat. Dia tak pernah memperhatikan. Dia hanya
diam saja. Menyimpan cerita didalam wajahnya yang suram itu. Dia hanya diam.
Orang lain pun tak berdaya.
Terus-menerus bertanya, ada apa sebenarnya dengan dirinya. Apa yang begitu
menyeramkan yang ia sembunyikan terus-menerus. Sesekali aku melihat dia
termenung. Melamun disaat sang pengajar mengocehkan ilmu. Entah apa yang
mengganggu fikirannya. Entah apa yang membungkam mulutnya untuk berbicara. Aku
tanya ia tak menjawab. Aku tersenyum ia
tak melihat. Ia hanya diam.
Lalu datang suatu senja pada
bulan September. Senja dimana daun berguguran diterpa angin. Senja yang
menemani dirinya melangkah pulang. Senja yang merobek langit pada hari itu.
Angin yang berbisik diantara aspal senja itu, bagai membisikkan doa.
Mengantarnya pulang.
Aku tak pernah mendapat
kesempatan itu. Untuk mengadahkan air mata sunyinya. Untuk memangku cerita
dibalik kebisuannya. Seiring senja itu pergi, ia juga pergi. Aku kira ia akan
kembali lagi. Memendam nyawanya lagi, seperti yang biasa ia lakukan. Namun
ternyata aku salah. Aku tak pernah tahu. Angin berbisik itu menjadi nafas terakhir
baginya. Ia pergi dengan Sang Senja September.
No comments:
Post a Comment