15/03/2013

Sekapur Sirih

Halo

Diri ini sedang tenggelam dalam pemikiran saat mengintrospeksi diri. Setelah seharian diaduk di panggung sandiwara dunia, akhirnya 'lampu sorot' telah terbenam kedalam lubuk hati sang Ibu Pertiwi, sebagai akhir dari peran kemunafikanku pada dunia hari ini. Malam ini, aku menantang seseorang yang kukenal amat dekat. Terlalu dekat. Ia melekat di tubuhku ini,

"Gurui dirimu. Nilai dirimu."

Namun, ia membisu. Jelas, karena aku hanya berbicara pada bayanganku sendiri. Itulah tantangannya. Tantangan rumit yang entah dapat kulakukan atau tidak. Disaat mulut ini menggurui orang lain, dengan mudahnya ia melantunkan sepatah kata pedas, kadang munafik, hanya untuk mengaduk perasaannya. Tanpa berkaca pada pribadi sendiri terlebih dahulu. Apa yang kita perebutkan? Apa yang kita tuju? Harta? Atau suatu tempat di lantai kasta? Kadang, aku sendiri tak mengerti. Mengapa aku hanya terdiam dan mengalir mengikuti arus dunia, alih-alih bendiri dengan kakiku sendiri. Manusia yang memberikan hela nafasnya untuk....untuk apa? Cita-cita? Untuk apa aku mengejar cita-cita orang tuaku alih-alih mengerjar mimpiku sendiri? Lihat? Aku hanya mengikuti kemana ombak membawaku. Entah hingga kaki ini mati rasa dan mata ini buta, aku mengikuti apa yang seharusnya dilakukan. Aku belum memiliki sepetak tanah untuk dipijak. Entah apa aku terlalu muda atau kita memang tidak mampu menjadi pionir.

Bayangan itu masih menatapku, menantang. Menunggu sebuah jawaban yang memang seharusnya dijawab dengan hati, bukan fikiran yang terus mengada-ada cerita kepada dunia, bahkan diri sendiri. Karena jawabanku akan sia-sia jika pada akhirnya aku hanya membual untuk meyakinkan diri sendiri bahwa aku sempurna. Akhirnya, sang bayangan menyerah dan memilih untuk membisu, menunggu sang angin datang dan menerima tantangan terbesar dalam hidupnya.

Jika sang angin mampu. Tanpa setetes pun kemunafikan.

No comments:

Post a Comment