Saban hari aku berjanji
Tak akan bertahan sampai sini
Tetapi kuingat tutur seorang Gemini
Bahwa kematian adalah sesuatu yang harus kita amini
Maka hidup adalah prolog yang harus kita segani
Saban hari aku berjanji
Tak akan bertahan sampai sini
Tetapi kuingat tutur seorang Gemini
Bahwa kematian adalah sesuatu yang harus kita amini
Maka hidup adalah prolog yang harus kita segani
As I dive headfirst into the depth
Skinny dipping with nothing
But a train of thoughts to defuse
Still between the absence of sounds
Your voice rings the loudest in my ears
Haunting yet ethereal
Weighs me further and further
Into the state of not letting go
Jasadnya sudah terkubur enam meter di bawah tanah di mana ia berpijak. Beberapa masih tersedu, beberapa memutuskan untuk membawa duka sebagai santap makan malam di rumah. Ia bergeming, sejujurnya tak tahu harus berbuat apa. Ini bukan kali pertama ia dituntut untuk menghadapi kematian dalam hidupnya. Namun, rasanya hampir tidak mungkin untuk jiwa dan raganya terbiasa dengan hal itu. Khususnya hari ini.
Hubungannya dengan adiknya tidak seindah lagu Il Mondo yang dilantunkan oleh Jimmy Fontana. Tetapi ia rasa tak semua lagu harus memiliki nada yang indah. Terkadang sesuatu yang terdengar unik, tanpa pendengarnya bisa menerka apa yang selanjutnya akan terjadi, menjadi sebuah lagu yang menarik untuk didengar berulang kali. Kematian adiknya membuatnya merasa tak bisa mendengar lagu itu lagi.
Semasa kecil, ia pernah berpikir bagaimana kita bisa yakin bahwa seseorang benar-benar tiada. Alat-alat di rumah sakit memang sudah begitu canggih. Pun tubuh kita bisa memberi sinyal jika nyawa tak lagi ada di dalamnya. Tetapi pikirannya selalu mengandai, bagaimana jika orang yang meninggal tidak benar-benar mati? Bahkan sisi medis pun mengakui keberadaan mati suri.
Jika benar begitu, bisa saja ia terlambat untuk mengetahui itu. Mungkin juga adiknya sedang mengetuk-ngetuk peti matinya demi memberi tahu bahwa ia masih hidup dan tidak seharusnya berada di dalam sana. Mungkin selama ini ada orang yang dikubur hidup-hidup. Sehingga secara tidak sengaja, kita semua yang telah membunuh mereka, dan bukan takdir.
Pikiran-pikiran itu menyulut angannya menjadi kalut. Kemungkinan itu menggubahnya ingin meraih penggali dan membuka kembali peti mati yang sudah ditutup rapat-rapat. Tangannya ingin memeluk seorang sosok dengan jiwa yang masih melekat; sadar bahwa kali ini pikirnya telah membantarnya untuk menjadi seorang jagal.
Tapi nyatanya kematian sudah datang semakin dekat, dan kali ini datang menceraikannya dan adiknya. Pikirannya yang liar hanya sebuah kesaksian bahwa ia tak ingin menanggung rasa bersalah di tiap langkahnya, dan ia masih ingin mendengar lagu itu sekali lagi.
Jangan sampai dinding kamarmu
Menghidu nama lain selain dirinya
Mereka lihai menyimpan rahasia
Tak punya tutur untuk bercakap
Namun mata dan telinganya
Tak pernah picing dan tumpul
Untuk merujammu sampai dalam
Namun pun bila mereka tak tangkas menangkap
Celoteh dan keluh hatimu begitu nyaring
Berdengung hingga telinga yang kuasa
Kalau sudah begitu
Sembah sujudmu bisa saja mudarat
Kibarkan saja bendera putih dalam pilu
Hingga getirmu mampu dilahap oleh ingat
Dua puluh dua tahun usiaku berjalan, dan sejujurnya aku sangat berharap usiaku tak pernah menyentuh dua putuh tiga. Bukan karena aku takut bertambah tua, atau takut wajahku dipenuhi kerutan, atau ngeri tubuhku digerogoti oleh penyakit yang tak tahu dari mana datangnya (mungkin dari kebiasaanku mengisap rokok, atau mungkin bukan). Aku hanya jenuh mencari jalan untuk memaklumi dunia. Entah cara bekerjanya, atau entitas yang hidup di dalamnya. Kurasa memang tak seharusnya dimaklumi. Namun entah bagaimana orang-orang mampu memilih untuk melakukan hal itu.
Sesungguhnya aku tak ingin menua dengan tubuh yang dipenuhi oleh rasa sabar dan hati yang mampu memaklumi sepenuhnya. Semua tidak baik-baik saja. Mengapa semua orang dapat tidak mengacuhkan hal itu?
Celotehku terdengar seperti anak kecil yang naif. Seperti tidak tahu bagaimana caranya menjadi dewasa dan tumbuh tua hingga ajal menjemput, dan bukan sebaliknya. Mungkin memang aku tidak tahu; atau sejujurnya, aku memang tidak ingin tahu. Nampaknya lebih mudah jika begitu, dan menerima bahwa usiaku telah menginjak dua puluh tiga.
I never imagined myself dying in a graceful way, even when I was little. Dying is painful, sad, yet blissful at the same time. It is an act of bravery, I presume. Knowing that you have the full capability to write your own endings, well, if free will is not just a figment of our imagination. If not, perhaps for once God could understand my prayers and just let it be.
I guess I delivered my ‘sorry’ and ‘thank you’ already; changing its meaning to a simple goodbye. I wish I could tell them not to weep out of their selfishness. But frankly I would understand if they do, because I might as well do the same. I hope they could understand my ending. It is hard to keep a positive thoughts when your eyes can only see things in negative. No one should took the blame. I am the culprit after all.
I could no longer feel myself anymore. The song that is playing from the speaker rings too loud I could no longer able to sing along with it. The back of my mind wonders what comes after it. Yet the dark pit of my heart relieved that I would not have to worry about it anymore.
It feels disappointing to know that this saggy and lumpy bed will be my deathbed in no time. I never imagined it would be this way; a cramped room I rented as a place I choose to die. The last memory that I carry to the afterlife (if it really does exist), is the picturesque small loving room. I polished it, turned it into a loving grace. I even put plants on every corner of it. I never really thought I would be a plant person the way my mother used to be.
Come to think of it, I would not mind to die here. It is my safe place after all. These walls have seen my worst moments, my greatest sins, even my gleeful days. Sometimes it sees me devoting my heart to the Almighty too. If it could, it would laugh, obviously. It is not like I do not believe in It. I just constantly questioning whether It is really there or not. But human hearts, when they are desperate to cry for help, uncertainty is the best answer for them. For life itself is never certain above all.
I should not have thoughts about these right now. These little things might make it even harder to leave. I sure do grow fond of this space. But not enough to stop me from leaving. Come to think of it, nothing and no one is never enough.
Everything is going ashtray but everyone has an ego as high as the skyscrapers to care to take the bullet. I should have understand that whatever spit out from their mouths are just some cliché balonies. Besides, what can you get from hanging on words and words only for your dear life?
I should have feel unease of the red stains on my clothes, my body, and the floor. But all I could sense is nothing but ecstasy. My eyes started to see the things that I should not; as if it could not distinguish between what is real and what is not anymore. Maybe it could not. Maybe I could not too.
So, what else can I do to put things back to enthralling arrays? What else can I do to cease my mind to think about fleeing? What else can I do when I quickly discern this cramped place as a good place to succumb?
Rautmu mengemas satu atau dua derita
Mungkin bimbang akan amarah yang meruah
Atau kama yang hadir tanpa disangka
Tanganmu membalut segelas sentosa
Pandangmu bergamam tapi sungguh,
Kau tak perlu bertanya
Jawabku sudah terlihat begitu jernih
Tangan dan mulut kami tercela
Hingga lupa apa itu nestapa
Kakimu bergetar seperti gugup
Melawan detakku yang mulai berdegup
Padahal cakrawala sudah tak lagi redup
Namun raga masih belum mengucap cukup
Hatred and distress collided into one
As you witnessed the conundrum on the mirror
Is not the faultless soul they expect you to be
Broke the glass as if it costs nothing
Left you with fractions
That will drag you straight to 7 years of hell;
The one with a partner accompanied with childhood trauma
He might be a Gemini or just an utter asshole
The one with the lethal disease
More poisonous than noticing two psychopaths coexist
Gravity didn't even notice you
As you chose to go to heaven
When what you really need is a therapy
Coward, as you always be