Akhirnya tiba waktu di mana kita tumbuh layaknya pohon
rindang di hutan kota. Berada di satu tempat yang sama; dipayungi oleh gemawan merah
kesumba dan bernafas di antara bayang-bayang halimun. Namun ranting kita
mengejar sinar mentari yang berbeda. Dan kita pun harus dewasa dan mencoba
untuk mengerti. Langkah kaki hanya diciptakan untuk singgah, bukan untuk
mengakar apalagi tumbuh bersama.
Air mataku yang tak pernah akrab dengan realita sesekali luruh mengingat nadi kita yang pernah berdetak bersama. Namun itu sudah lalu. Tak baik membangunkan sesuatu yang sudah tidur dengan tenang.
Air mataku yang tak pernah akrab dengan realita sesekali luruh mengingat nadi kita yang pernah berdetak bersama. Namun itu sudah lalu. Tak baik membangunkan sesuatu yang sudah tidur dengan tenang.
Tak banyak yang ingin kusampaikan. Mendengar suaramu saja sudah buat hati ini berdegup
tak karuan. Sekadar melihatmu tersenyum tenteram saja sudah lebih dari
cukup. Aku tak boleh tamak dan menginginkan kita untuk mendayung
berdampingan di arus sungai yang sama. Lagipula,
mustahil bagi kita untuk menginjak arus sungai yang sama. Begitu yang kutahu dari
seorang filsuf asal Yunani.
Saat ini mauku bahagia. Mauku juga kamu bahagia. Tak
perlu bersama jika dengan tangan sendiri kita mampu melukis segurat senyum.
Ucapan terima kasih rasanya klise. Tapi syukurku dalam hati dapat mencipta
karsa, membagi rasa, dan membangun rasa denganmu. Tanpamu tak akan
ada aku. Tanpamu tak akan ada realita.
Mungkin di lain waktu.
Mungkin di lain semesta.
No comments:
Post a Comment