07/03/2019

Surat Terbuka untuk Jiwa yang Direguk Waktu

Akhirnya datang masa di mana matamu kembali asing seperti semula. Yang aku kenang bukan lagi nyata, tetapi semu semata.

Akhirnya tiba waktu di mana kita tumbuh layaknya pohon rindang di hutan kota. Berada di satu tempat yang sama; dipayungi oleh gemawan merah kesumba dan bernafas di antara bayang-bayang halimun. Namun ranting kita mengejar sinar mentari yang berbeda. Dan kita pun harus dewasa dan mencoba untuk mengerti. Langkah kaki hanya diciptakan untuk singgah, bukan untuk mengakar apalagi tumbuh bersama. 

Air mataku yang tak pernah akrab dengan realita sesekali luruh mengingat nadi kita yang pernah berdetak bersama. Namun itu sudah lalu. Tak baik membangunkan sesuatu yang sudah tidur dengan tenang.

Tak banyak yang ingin kusampaikan. Mendengar suaramu saja sudah buat hati ini berdegup tak karuan. Sekadar melihatmu tersenyum tenteram saja sudah lebih dari cukup. Aku tak boleh tamak dan menginginkan kita untuk mendayung berdampingan di arus sungai yang sama. Lagipula, mustahil bagi kita untuk menginjak arus sungai yang sama. Begitu yang kutahu dari seorang filsuf asal Yunani.

Saat ini mauku bahagia. Mauku juga kamu bahagia. Tak perlu bersama jika dengan tangan sendiri kita mampu melukis segurat senyum. Ucapan terima kasih rasanya klise. Tapi syukurku dalam hati dapat mencipta karsa, membagi rasa, dan membangun rasa denganmu. Tanpamu tak akan ada aku. Tanpamu tak akan ada realita.

Mungkin di lain waktu.

Mungkin di lain semesta.

No comments:

Post a Comment