Tak ada yang tahu ke mana ia pergi, atau di mana ia
berada sekarang. Seribu dua ratus delapan belas hari sudah berlalu. Tentu akan
lebih mudah jika menganggap dirinya telah dijemput oleh Yang Kuasa. Mungkin
begitu untuk orang yang tak ingin banyak bergumul. Namun tidak bagimu.
Khususnya bagi dirimu.
Kau terduduk dalam balutan busana hitam, dengan
peluk yang sudah terganti dengan rasa yang pelik. Layaknya umat yang taat,
mulutmu ikut berkomat-kamit dalam bahasa yang tak kau pahami betul. Jauh dalam
dirimu kau tahu, semua hal ini tak akan membuatnya kembali. Ini hanya akan
menyibak kembali luka dan sedih yang sudah lalu dan tak mau berlalu; layaknya
mencari sajam di semak-semak belukar.
Sekumpulan orang mulai berhambur angkat kaki. Mereka
yang bertahan tentunya berbisik dengan menyisipkan namamu di dalamnya. Tak
dapat dielak bahwa kau akan selalu menjadi yang terduga, walau tak ada
seorangpun—bahkan dirimu—yang tahu apa yang benar-benar benar. Mereka mungkin
saja sesat, tetapi prasangka mereka bisa saja akurat.
Kau masih membawa seikat pilu di tanganmu. Rasanya
tak tega membuang semua itu begitu saja, meski tak ada gunanya pula membawanya
ke manapun kau pergi. Hal itu hanya akan memberatkan langkahmu untuk bertolak.
Hal itu hanya akan memberatkan tanganmu untuk melepasnya. Semua hal ini hanya
akan merisakmu untuk enggan terbangun di esok hari.
Sebenarnya, kau hanya berharap surat kematian itu hinggap di tanganmu. Entah bertuliskan namanya yang pergi, atau namamu yang lebih memilih mati. Kau ingin sosokmu tak lagi dikenal bayang. Walakin kau tak ingin bertemu abadi, karena selamanya rasanya benar-benar terlalu lama. Nafasmu tersengal, lalu terdesah. Hidup dan semesta tampaknya tak tercipta untuk semua.