26/10/2020

Sungkawa

Tak ada yang tahu ke mana ia pergi, atau di mana ia berada sekarang. Seribu dua ratus delapan belas hari sudah berlalu. Tentu akan lebih mudah jika menganggap dirinya telah dijemput oleh Yang Kuasa. Mungkin begitu untuk orang yang tak ingin banyak bergumul. Namun tidak bagimu. Khususnya bagi dirimu.

Kau terduduk dalam balutan busana hitam, dengan peluk yang sudah terganti dengan rasa yang pelik. Layaknya umat yang taat, mulutmu ikut berkomat-kamit dalam bahasa yang tak kau pahami betul. Jauh dalam dirimu kau tahu, semua hal ini tak akan membuatnya kembali. Ini hanya akan menyibak kembali luka dan sedih yang sudah lalu dan tak mau berlalu; layaknya mencari sajam di semak-semak belukar.

Sekumpulan orang mulai berhambur angkat kaki. Mereka yang bertahan tentunya berbisik dengan menyisipkan namamu di dalamnya. Tak dapat dielak bahwa kau akan selalu menjadi yang terduga, walau tak ada seorangpun—bahkan dirimu—yang tahu apa yang benar-benar benar. Mereka mungkin saja sesat, tetapi prasangka mereka bisa saja akurat.

Kau masih membawa seikat pilu di tanganmu. Rasanya tak tega membuang semua itu begitu saja, meski tak ada gunanya pula membawanya ke manapun kau pergi. Hal itu hanya akan memberatkan langkahmu untuk bertolak. Hal itu hanya akan memberatkan tanganmu untuk melepasnya. Semua hal ini hanya akan merisakmu untuk enggan terbangun di esok hari.

Sebenarnya, kau hanya berharap surat kematian itu hinggap di tanganmu. Entah bertuliskan namanya yang pergi, atau namamu yang lebih memilih mati. Kau ingin sosokmu tak lagi dikenal bayang. Walakin kau tak ingin bertemu abadi, karena selamanya rasanya benar-benar terlalu lama. Nafasmu tersengal, lalu terdesah. Hidup dan semesta tampaknya tak tercipta untuk semua.

04/10/2020

Rintik

Dahulu kita hanya hanya dapat bersua di penggalan tahun. Kadang lebih dari itu, jika aku beruntung. Namun sekarang rasanya tak ada yang pasti lagi, dan aku tak tahu harus merasa bahagia atau merana karena itu.

Tak semua orang menyukaimu. Mungkin kau tak mawas dengan hal itu (atau memilih untuk tak peduli, seperti biasanya). Aku diam-diam tahu karena aku sering menyaksikan bagaimana raut mereka terkeluk sesaat setelah kau hadir di hadapan mereka. Terlebih jika kau datang tanpa permisi. Kadang aku harus meminta maaf akan sikapmu yang seperti itu. Nampaknya kau harus lebih mendalami sopan santun dan tata krama.

Sebenarnya aku mengerti mengapa mereka bertingkah seperti itu. Mereka tak suka jika hari-harinya kau usik karena akuilah, entah hadirmu hanya sekadar singgah, atau menetap sampai larut, pasti ada saja petaka yang kau bawa untuk mereka. Terkadang aku juga mengalami hal yang sama. Walau begitu, rasa cintaku ini masih sama saja. Mungkin benar yang orang katakan; cinta itu buta, dan mungkin sedikit dungu.

Terkadang cintaku padamu dipertanyakan validasinya. Tentu oleh insan-insan yang tak menyukaimu. Mereka tak habis pikir, bagaimana aku masih tetap mencintaimu disaat dirimu merusak apa yang aku kenakan. Aku bilang, “Tak apa. Kulitku ini jarang tersentuh oleh apapun dan siapapun. Rasanya agak kesepian, dan sentuhannya benar-benar membuatku merasa tidak sendiri.” Aku meninggalkan bagian bagaimana kau sering menutupi air mataku. Rasanya terlalu sentimental untuk dibagi.

Kemudian mereka kembali bertanya, “Jika kau benar-benar mencintainya, lalu mengapa masih melindungi dirimu dari dirinya?” Aku terdiam; tidak mau munafik bahwa dalam hari-hari tertentu, aku mengurungkan niat untuk bertemu denganmu, bahkan sangat amat melindungi diriku dari sentuhanmu. Alasanku sebenarnya sama dengan orang-orang yang tak menyukaimu. Terkadang aku tak ingin kau menghancurkanku. Tubuhku sering tak sanggup menghadapimu.  Itu sebabnya aku mengerti mengapa mereka tak menyukaimu.

Aku masih mencintaimu. Bagaimana aku tidak? Bahagiaku sering datang bersamamu. Senduku reda karenamu. Namun tampaknya aku tak bisa benar-benar mencintaimu secara utuh.