Nama lelaki
itu Lintang. Ia selalu merasa nama yang tersemat di dirinya sebagai suatu darma
yang berat untuk ditunaikan. Ibundanya berharap ia menjadi suluh bagi hari-hari
yang muram dan jiwa-jiwa yang tersesat. Namun sejujurnya, untuk menjadi bintang
di malam kelam untuk dirinya saja masih sukar untuk ia lakukan.
Tuhan tak
pernah tahu namanya. Ia biasa memanggilnya dengan adzan subuh. Lintang tak pernah
menjadi umat yang taat. Tetapi fajar untuknya selalu menjadi waktu yang
menyimpan suasana mistik; saat yang tepat baginya untuk menengadah tangan dan merawi
kepada Sang Kuasa.
Namun fajar
kali ini berbeda. Panggilan dari Tuhan tak ia gubris sedikitpun. Ayam jago yang
sudah berkokok 12 kali pun ia elakkan. Dua bola matanya masih terbalut ria, tak
kenal lagi dengan kantuk. Ia menatap gambaran seorang anak Hawa yang sedang
sibuk menceritakan sebuah buku yang baru saja ia tuntaskan. Lintang tentunya sudah menamatkan buku itu
berkali-kali. Tetapi dirinya tak keberatan mendengarkan ceritanya sekali lagi,
jika yang bercerita adalah perempuan itu. Ia menemukan teman untuk berbagi
selain pada Penciptanya.