28/10/2017

Untuk Sosok Asing di Ujung Meja

Asing.

Kata yang berulang kali ia gunakan untuk Ibukota yang diam-diam ia kagumi. Ia melalang buana. Membawa langkahnya menyusuri lampu kota yang kadang terlalu gelap, kadang terlalu terang. Sebuah buku bersampul coklat usang singgah di genggamannya. Entah apa isinya. Mungkin pikirannya yang lebih berwarna dari sandang yang selalu dikenakannya; sebuah jaket hitam yang tak pernah lupa ia istirahatkan di tubuhnya. Berusaha untuk tidak mengandalkan dekapan manusia lain untuk menghangatkan raga. Lagipula ia selalu sendiri. Tak perlu juga ia berharap akan ada yang mampu mencintainya seperti ia mencintai Jakarta.


Lalu di akhir perjalanannya, ia akan kembali ke toko kopi kecil di pojok jalan. Memesan secangkir kopi hitam panas yang tidak selaras dengan tatapannya yang beku. Ia selalu merasakan hal yang sama ketika mengunjungi tempat itu. Ia selalu merasa ia telah pulang, ia di rumah. Karena rumah bukan bangunan, melainkan sebuah perasaan kembali ke sesuatu yang familiar. Sebuah bangunan mati tak akan memberi rasa, namun yang memiliki rasa mampu membagi. Dan diantara keasingan ibukota dan toko-toko yang silih berganti, perasaan itu yang selalu ia damba untuk kembali. 



P.S. Teruntuk sesosok Adam yang kulihat termenung sendiri, semoga suatu hari nanti semesta akan menangkap kita lagi dalam satu frekuensi. Namun kali ini, bukan murung yang kulihat di wajahmu, namun senyuman hangat layaknya cuaca Jakarta pada hari itu.

No comments:

Post a Comment