Asing.
Kata yang berulang
kali ia gunakan untuk Ibukota yang diam-diam ia kagumi. Ia melalang buana.
Membawa langkahnya menyusuri lampu kota yang kadang terlalu gelap, kadang
terlalu terang. Sebuah buku bersampul coklat usang singgah di genggamannya.
Entah apa isinya. Mungkin pikirannya yang lebih berwarna dari sandang yang
selalu dikenakannya; sebuah jaket hitam yang tak pernah lupa ia istirahatkan di
tubuhnya. Berusaha untuk tidak mengandalkan dekapan manusia lain untuk
menghangatkan raga. Lagipula ia selalu sendiri. Tak perlu juga ia berharap akan
ada yang mampu mencintainya seperti ia mencintai Jakarta.
Lalu di akhir
perjalanannya, ia akan kembali ke toko kopi kecil di pojok jalan. Memesan
secangkir kopi hitam panas yang tidak selaras dengan tatapannya yang beku. Ia
selalu merasakan hal yang sama ketika mengunjungi tempat itu. Ia selalu merasa
ia telah pulang, ia di rumah. Karena rumah bukan bangunan, melainkan sebuah
perasaan kembali ke sesuatu yang familiar. Sebuah bangunan mati tak akan memberi rasa, namun yang
memiliki rasa mampu membagi. Dan diantara keasingan ibukota dan toko-toko yang
silih berganti, perasaan itu yang selalu ia damba untuk kembali.
P.S. Teruntuk sesosok Adam yang kulihat termenung sendiri, semoga suatu hari nanti semesta akan menangkap kita lagi dalam satu frekuensi. Namun kali ini, bukan murung yang kulihat di wajahmu, namun senyuman hangat layaknya cuaca Jakarta pada hari itu.
No comments:
Post a Comment