28/10/2017

Kangen Bapak

Siang itu kulepas lelah di taman kecil itu; taman dimana bahagia masa kecilku berasal. Semuanya masih sama, hanya suasanya sekarang berbeda. Kali ini aku pergi sendiri, tanpa sosok yang biasa menungguku di atas motor merahnya sambil mematik rokok kretek yang baunya melekat sampai ke jaket merah jambu kesayanganku dulu. Aroma yang dahulu aku benci, namun sekarang kurindu. Masih segar di ingatanku bagaimana diam-diam kuambil sekotak rokok miliknya. 

“Nanti Bapak cepat mati kalau ngerokok terus,” ucapku lugu. 

Namun kudapati diriku sendiri menyalakan satu batang di antara jemariku. Sebuah sarana untuk mengusir memori tentangnya. Ia yang dulu menimang, namun kini tiap melintas di angan selalu membuat berlinang. Mungkin dulu aku terlalu kecil untuk tahu apa yang ingin dilupakannya. 

Untuk Sosok Asing di Ujung Meja

Asing.

Kata yang berulang kali ia gunakan untuk Ibukota yang diam-diam ia kagumi. Ia melalang buana. Membawa langkahnya menyusuri lampu kota yang kadang terlalu gelap, kadang terlalu terang. Sebuah buku bersampul coklat usang singgah di genggamannya. Entah apa isinya. Mungkin pikirannya yang lebih berwarna dari sandang yang selalu dikenakannya; sebuah jaket hitam yang tak pernah lupa ia istirahatkan di tubuhnya. Berusaha untuk tidak mengandalkan dekapan manusia lain untuk menghangatkan raga. Lagipula ia selalu sendiri. Tak perlu juga ia berharap akan ada yang mampu mencintainya seperti ia mencintai Jakarta.


Lalu di akhir perjalanannya, ia akan kembali ke toko kopi kecil di pojok jalan. Memesan secangkir kopi hitam panas yang tidak selaras dengan tatapannya yang beku. Ia selalu merasakan hal yang sama ketika mengunjungi tempat itu. Ia selalu merasa ia telah pulang, ia di rumah. Karena rumah bukan bangunan, melainkan sebuah perasaan kembali ke sesuatu yang familiar. Sebuah bangunan mati tak akan memberi rasa, namun yang memiliki rasa mampu membagi. Dan diantara keasingan ibukota dan toko-toko yang silih berganti, perasaan itu yang selalu ia damba untuk kembali. 



P.S. Teruntuk sesosok Adam yang kulihat termenung sendiri, semoga suatu hari nanti semesta akan menangkap kita lagi dalam satu frekuensi. Namun kali ini, bukan murung yang kulihat di wajahmu, namun senyuman hangat layaknya cuaca Jakarta pada hari itu.

Jangan Percaya Sang Pujangga

Jangan lagi berbagi hati
Dengan seorang pujangga
Karena ia buatmu terjaga saat langit tertidur
Dan ia buat emosi berserak berantakan

Jangan biarkan pujangga menjaga hati
Nanti diubahnya menjadi sederet puisi

Jangan harap pujangga untuk bersemayam
Kakinya sama seperti jari-jemarinya
Tak pernah berhenti mencari rasa
Untuk diubah menjadi aksara

Ia mencinta dengan puisi,
Bukan dengan hati
Ia mencinta dengan kata,
Bukan dengan rasa

23/10/2017

Ephemeral

A pack of cigarettes
And tons of shots later
Yet my mouth could
Taste nothing but yours