Kutengok
jam di dinding sekali lagi. 7:18. Entah apa yang menghambatnya, tetapi ia
seharusnya sudah berada disini 48 menit yang lalu. Aku mengeluarkan handphone-ku dan mencari namanya.
Cheila. Jemariku bermain lihai diatas huruf-huruf handphone.
‘Cheil, lo
dimana? Gue udah nunggu lama, nih.’
Seorang
Jongga, duduk sendirian menatapi langit malam dengan alunan lagu-lagu cinta
(apa ini yang selalu mereka mainkan pada malam Minggu?) bukanlah suatu
pemandangan yang biasa dilihat. Aku lebih memilih sendiri di kamar apartemen
kecil yang letaknya tak jauh dari sini. Entah apa yang kulakukan disana.
Mungkin membaca buku-buku tentang management
yang kupinjam dari perpustakaan di universitasku. Ada beberapa subjek yang
belum kumengerti. Mungkin masalah bahasa. Mungkin aku belum terbiasa. Dan
mungkin saja jika aku tidak memutuskan untuk menyetujui penawaran Cheila untuk
menemuinya ditempat ini sekarang, subjek-subjek itu sudah kumengerti.
‘Sebentar
lagi sampai, Ga :)’
Balasan
dari Cheila membuatku resah. Kapan dia akan datang? Seporsi sushi yang kupesan sudah berpindah
tempat ke perutku, dan dia belum juga datang. “Irashaimashe!” sahut para pelayan sesaat setelah seorang pelanggan
memasuki restoran. Mungkin itu Cheila, aku tak pasti. Aku tak dapat melihat
wajahnya dibawah lampu remang-remang disekitarku. Aku memperhatikannya. Ia tak
bergerak pada awalnya. Hanya menggerakkan kepalanya kekanan dan kekiri seperti
mencari seseorang. Aku melambaikan tanganku jika saja itu Cheila. Mungkin dia
kesulihat melihatku juga. Sosok itu menyadari kehadiranku dan berjalan
menghampiriku. Tetapi semakin dekat sosok itu berjalan kearahku, semakin aku
menyadari sosok itu tidak memiliki wajah Cheila. Itu Kaira.
Ia
berdiri dihadapanku. Memakai jeans, jaket hitam, dan kaos putih dengan
tulisan ACDC berwarna kuning. Mungkin band
favoritnya. “Jangan bilang lo kesini gara-gara Cheila?” tanyanya. Ekspresinya
tak kalah bingung denganku. Dengan pertanyaannya aku mengangguk dan Kaira
tertawa. Tawanya merdu. Seperti lagu favoritku yang kudengar setiap pagi. “Dia
menjebak kita! Udah gue duga.” Ia menempatkan dirinya didepanku. Sesaat aku tak
tahu harus apa, harus berkata apa. Jadilah aku terdiam. “Jongga, kalau boleh
jujur, gue sebenernya ngga terlalu suka makanan Jepang. Tapi gue tahu satu
restoran enak di dekat sini. Mau kesana?” tawarnya. Dia tidak suka makanan
Jepang. Mungkin dia juga tidak suka orang Jepang. Namun setelah kuingat lagi,
aku bukan orang Jepang. Aku warga Indonesia. Aku menyetujuinya dan bangkit dari
tempat dudukku.
Kami
berjalan melewati jalanan Kemang yang sedikit macet. Ramai akan muda-mudi dan
orang dewasa yang mencari hiburan malam. Kaira memimpin didepanku, sampai
akhirnya kami memasuki sebuah restoran dengan tema warna maroon. Seorang
pelayan mengantar kami ke sebuah meja yang ditempatkan untuk dua orang. Sesaat
setelah sang pelayang memberikanku menu, aku tahu mengapa Kaira memilih
restoran ini. Menunya beragam. Dari makanan Cina hingga makanan Eropa seperti
pasta disediakan disini. Setelah kami memesan, sang pelayan pun meninggalkan
kami berdua. Kaira yang memulai pembicaraan diantara kita. “Jadi. . .kenapa
balik ke Indonesia? Kenapa ngga ngelanjutin studi di Jepang aja? Gue
denger-denger pendidikan disana bagus.”
“Gue
diterima program beasiswa disini. Ibu gue bilang lebih baik diambil. Lagi pula,
gue orang Indonesia. Mungkin emang harusnya gue disini,” jawabku. Ia mengangguk
tanda setuju. “Wow. Emang keliatan pinter ya. Kalau gue, buat masuk universitas
kita sekarang ini harus belajar siang malam buat diterima. Tapi untungnya,
semua ngga sia-sia.” Senyuman bangga nampak diwajahnya. Ia terlihat cantik
malam ini. Mungkin memang aku menyukainya. “Jadi gimana di Jepang? Udah punya
pacar disana?” tanyanya lagi. Aku tertawa dalam hati. Apa ia bercanda? Orang
sepertiku? Pacar? Rasanya tidak mungkin. “Ngga semudah itu punya pacar orang
Jepang. Jadi ya, gue belum punya pacar. Gue rasa gue ngga tertarik untuk
punya.”
“Kenapa?”
tanyanya lagi sambil meminum minuman yang baru saja datang. “Karena gue ngga
merasa hal itu penting.”
“Jongga,
cinta itu penting.”
“Cinta
ngga harus ditunjukkin dengan membuat sebuah komitmen dengan seseorang, Ra.”
“Terus
gimana lo menunjukkan cinta?”
Lalu
aku terdiam. Tak mampu menjawab pertanyaannya. Selama ini kutunjukkan cintaku
pada keluargaku. Namun, bagaimana jika aku sebatang kara? Apa artinya aku tidak
punya cinta?
No comments:
Post a Comment