12/01/2015

Apa Masih Ada Cinta?




                Kutengok jam di dinding sekali lagi. 7:18. Entah apa yang menghambatnya, tetapi ia seharusnya sudah berada disini 48 menit yang lalu. Aku mengeluarkan handphone-ku dan mencari namanya. Cheila. Jemariku bermain lihai diatas huruf-huruf handphone.

                ‘Cheil, lo dimana? Gue udah nunggu lama, nih.

                Seorang Jongga, duduk sendirian menatapi langit malam dengan alunan lagu-lagu cinta (apa ini yang selalu mereka mainkan pada malam Minggu?) bukanlah suatu pemandangan yang biasa dilihat. Aku lebih memilih sendiri di kamar apartemen kecil yang letaknya tak jauh dari sini. Entah apa yang kulakukan disana. Mungkin membaca buku-buku tentang management yang kupinjam dari perpustakaan di universitasku. Ada beberapa subjek yang belum kumengerti. Mungkin masalah bahasa. Mungkin aku belum terbiasa. Dan mungkin saja jika aku tidak memutuskan untuk menyetujui penawaran Cheila untuk menemuinya ditempat ini sekarang, subjek-subjek itu sudah kumengerti.

               ‘Sebentar lagi sampai, Ga :)’

                Balasan dari Cheila membuatku resah. Kapan dia akan datang? Seporsi sushi yang kupesan sudah berpindah tempat ke perutku, dan dia belum juga datang. “Irashaimashe!” sahut para pelayan sesaat setelah seorang pelanggan memasuki restoran. Mungkin itu Cheila, aku tak pasti. Aku tak dapat melihat wajahnya dibawah lampu remang-remang disekitarku. Aku memperhatikannya. Ia tak bergerak pada awalnya. Hanya menggerakkan kepalanya kekanan dan kekiri seperti mencari seseorang. Aku melambaikan tanganku jika saja itu Cheila. Mungkin dia kesulihat melihatku juga. Sosok itu menyadari kehadiranku dan berjalan menghampiriku. Tetapi semakin dekat sosok itu berjalan kearahku, semakin aku menyadari sosok itu tidak memiliki wajah Cheila. Itu Kaira.

                Ia berdiri dihadapanku. Memakai jeans, jaket hitam, dan kaos putih dengan tulisan ACDC berwarna kuning. Mungkin band favoritnya. “Jangan bilang lo kesini gara-gara Cheila?” tanyanya. Ekspresinya tak kalah bingung denganku. Dengan pertanyaannya aku mengangguk dan Kaira tertawa. Tawanya merdu. Seperti lagu favoritku yang kudengar setiap pagi. “Dia menjebak kita! Udah gue duga.” Ia menempatkan dirinya didepanku. Sesaat aku tak tahu harus apa, harus berkata apa. Jadilah aku terdiam. “Jongga, kalau boleh jujur, gue sebenernya ngga terlalu suka makanan Jepang. Tapi gue tahu satu restoran enak di dekat sini. Mau kesana?” tawarnya. Dia tidak suka makanan Jepang. Mungkin dia juga tidak suka orang Jepang. Namun setelah kuingat lagi, aku bukan orang Jepang. Aku warga Indonesia. Aku menyetujuinya dan bangkit dari tempat dudukku.

                Kami berjalan melewati jalanan Kemang yang sedikit macet. Ramai akan muda-mudi dan orang dewasa yang mencari hiburan malam. Kaira memimpin didepanku, sampai akhirnya kami memasuki sebuah restoran dengan tema warna maroon. Seorang pelayan mengantar kami ke sebuah meja yang ditempatkan untuk dua orang. Sesaat setelah sang pelayang memberikanku menu, aku tahu mengapa Kaira memilih restoran ini. Menunya beragam. Dari makanan Cina hingga makanan Eropa seperti pasta disediakan disini. Setelah kami memesan, sang pelayan pun meninggalkan kami berdua. Kaira yang memulai pembicaraan diantara kita. “Jadi. . .kenapa balik ke Indonesia? Kenapa ngga ngelanjutin studi di Jepang aja? Gue denger-denger pendidikan disana bagus.”

                 “Gue diterima program beasiswa disini. Ibu gue bilang lebih baik diambil. Lagi pula, gue orang Indonesia. Mungkin emang harusnya gue disini,” jawabku. Ia mengangguk tanda setuju. “Wow. Emang keliatan pinter ya. Kalau gue, buat masuk universitas kita sekarang ini harus belajar siang malam buat diterima. Tapi untungnya, semua ngga sia-sia.” Senyuman bangga nampak diwajahnya. Ia terlihat cantik malam ini. Mungkin memang aku menyukainya. “Jadi gimana di Jepang? Udah punya pacar disana?” tanyanya lagi. Aku tertawa dalam hati. Apa ia bercanda? Orang sepertiku? Pacar? Rasanya tidak mungkin. “Ngga semudah itu punya pacar orang Jepang. Jadi ya, gue belum punya pacar. Gue rasa gue ngga tertarik untuk punya.”

                  “Kenapa?” tanyanya lagi sambil meminum minuman yang baru saja datang. “Karena gue ngga merasa hal itu penting.”

                 “Jongga, cinta itu penting.”

                 “Cinta ngga harus ditunjukkin dengan membuat sebuah komitmen dengan seseorang, Ra.”

                 “Terus gimana lo menunjukkan cinta?”

                 Lalu aku terdiam. Tak mampu menjawab pertanyaannya. Selama ini kutunjukkan cintaku pada keluargaku. Namun, bagaimana jika aku sebatang kara? Apa artinya aku tidak punya cinta?