12/09/2015

Sudah

Sudah
Lari saja
Sudah lelah jua
Hati ini merana
Meratapi realita
Yang tak mencipta bahagia

Sudah
Mau apa lagi
Mustahil untuk diingkari
Biar aku ikhlasi
Biar aku yang pergi

Sudah
Bawa serta ingatan itu
Kau tahu
Walau tak mau mengaku
Dongeng manis itu semu
Yang ada hanya kenangan pilu
Antara kau dan aku

02/06/2015

Lagi

Matahari menggenggam janji
Bulan menyimpan mimpi
Siang malam silih berganti
Merangkai cerita dan puisi
Melewati hari sendiri
Perlahan tapi pasti
Esok yang dinanti
Akhirnya akan kembali
Satu fajar lagi
Satu senja lagi
Hingga rindu yang menggunung di hati
Akan siap untuk pergi
Selamat datang kembali,
Sang penghuni hati.

17/05/2015

(un)happy

Most of the kids
Afraid of the sound of the thunder
I was frightened of my father's voice
Most of the kids
Yearn for a pack of crayons for their birthdays
All I've ever wished for was the love from my mother
Most of the kids
Amused themselves on the playground on their spare times
I filled my free times with inexhaustible clashes and bawls with my sister
And now the rain is pouring
The shower is trickling
And the tears are falling
Ten years later
And I haven't got all that I've ever wanted in life
All I gained are calamities and gloom

10/05/2015

Dissever

The nights are unfilled
No more late night chats
No more lullabies
No more counting stars

It is just me
Forlorn
Melancholy

Though you went away
Your scent stays
The memories of you stay
The space next to me remains empty

It is just me,
The tears,
And the quietude.

02/03/2015

Niin Kauan, Isoäiti

I knew in one point, I have to cope with the death, again. I will no longer sitting next to her in the hospital at midnight, witnessing her with my blurred eyes. I will no longer surrounded by the medical equipments and the beeping sound and being petrified if the screen shows the straight line. I could visualize my father crying for his death mother at the funeral.

Perhaps that explains why I never said ‘Get Well Soon’ at the first place. I knew it would be the biggest lie for this kind of situation. Wishing her to get better soon is an irony. She is dying. Everyone will eventually die. And we all here just waiting for the end to come. Hearts beaten fast. Sweats soaked up the faces. Fear haunted the souls.

At midnight, I always scrutinized my phone. To make sure that there was no text that came to my phone to inform me that she is gone. The message was never shown up. Yet the news was spreading as quick as the sadness filled my heart. She was gone.

I never liked the flowers. It reminds me of death. Funny how such beautiful things bounded with the death. Flowers rimmed me everywhere I went. Sadness were levitating around the atmosphere that morning. Between the tears I saw faces I rarely see. Cousins, elders, friends, neighbours, they were all here. Probably this is the reason why she left us alone.

No, we are not alone. We have each other. She united us with her death. The death found its way to show its beautiful side. Was this the reason why I saw her smiling in her eternal sleep? Because she realized her vocation was complete, and she is now enjoying her prize for the triumph. In heaven.

And I found myself sinked in my own confusion. I still could hear her voice recited in my ears. I still could feel her appearance amongst us. But as the sobs were getting louder, I realized it was just my imagination. Reality slapped me one more time. She is gone. Left me with regrets and sadness.

But why her? Why now? But then again, I asked myself again. Why not now? She said she couldn’t endure the pain anymore. She was tortured by the disease. And she wanted to go. But she made herself numb, and wait for another moment. Until all of her loved ones came and see her. But now she saw them all. She kept them in her head. And she was taking away the memories of the faces of the one that she loves. And we are here. Reciting endless prayers for her. To finally let her go. Goodbye.











12/01/2015

Apa Masih Ada Cinta?




                Kutengok jam di dinding sekali lagi. 7:18. Entah apa yang menghambatnya, tetapi ia seharusnya sudah berada disini 48 menit yang lalu. Aku mengeluarkan handphone-ku dan mencari namanya. Cheila. Jemariku bermain lihai diatas huruf-huruf handphone.

                ‘Cheil, lo dimana? Gue udah nunggu lama, nih.

                Seorang Jongga, duduk sendirian menatapi langit malam dengan alunan lagu-lagu cinta (apa ini yang selalu mereka mainkan pada malam Minggu?) bukanlah suatu pemandangan yang biasa dilihat. Aku lebih memilih sendiri di kamar apartemen kecil yang letaknya tak jauh dari sini. Entah apa yang kulakukan disana. Mungkin membaca buku-buku tentang management yang kupinjam dari perpustakaan di universitasku. Ada beberapa subjek yang belum kumengerti. Mungkin masalah bahasa. Mungkin aku belum terbiasa. Dan mungkin saja jika aku tidak memutuskan untuk menyetujui penawaran Cheila untuk menemuinya ditempat ini sekarang, subjek-subjek itu sudah kumengerti.

               ‘Sebentar lagi sampai, Ga :)’

                Balasan dari Cheila membuatku resah. Kapan dia akan datang? Seporsi sushi yang kupesan sudah berpindah tempat ke perutku, dan dia belum juga datang. “Irashaimashe!” sahut para pelayan sesaat setelah seorang pelanggan memasuki restoran. Mungkin itu Cheila, aku tak pasti. Aku tak dapat melihat wajahnya dibawah lampu remang-remang disekitarku. Aku memperhatikannya. Ia tak bergerak pada awalnya. Hanya menggerakkan kepalanya kekanan dan kekiri seperti mencari seseorang. Aku melambaikan tanganku jika saja itu Cheila. Mungkin dia kesulihat melihatku juga. Sosok itu menyadari kehadiranku dan berjalan menghampiriku. Tetapi semakin dekat sosok itu berjalan kearahku, semakin aku menyadari sosok itu tidak memiliki wajah Cheila. Itu Kaira.

                Ia berdiri dihadapanku. Memakai jeans, jaket hitam, dan kaos putih dengan tulisan ACDC berwarna kuning. Mungkin band favoritnya. “Jangan bilang lo kesini gara-gara Cheila?” tanyanya. Ekspresinya tak kalah bingung denganku. Dengan pertanyaannya aku mengangguk dan Kaira tertawa. Tawanya merdu. Seperti lagu favoritku yang kudengar setiap pagi. “Dia menjebak kita! Udah gue duga.” Ia menempatkan dirinya didepanku. Sesaat aku tak tahu harus apa, harus berkata apa. Jadilah aku terdiam. “Jongga, kalau boleh jujur, gue sebenernya ngga terlalu suka makanan Jepang. Tapi gue tahu satu restoran enak di dekat sini. Mau kesana?” tawarnya. Dia tidak suka makanan Jepang. Mungkin dia juga tidak suka orang Jepang. Namun setelah kuingat lagi, aku bukan orang Jepang. Aku warga Indonesia. Aku menyetujuinya dan bangkit dari tempat dudukku.

                Kami berjalan melewati jalanan Kemang yang sedikit macet. Ramai akan muda-mudi dan orang dewasa yang mencari hiburan malam. Kaira memimpin didepanku, sampai akhirnya kami memasuki sebuah restoran dengan tema warna maroon. Seorang pelayan mengantar kami ke sebuah meja yang ditempatkan untuk dua orang. Sesaat setelah sang pelayang memberikanku menu, aku tahu mengapa Kaira memilih restoran ini. Menunya beragam. Dari makanan Cina hingga makanan Eropa seperti pasta disediakan disini. Setelah kami memesan, sang pelayan pun meninggalkan kami berdua. Kaira yang memulai pembicaraan diantara kita. “Jadi. . .kenapa balik ke Indonesia? Kenapa ngga ngelanjutin studi di Jepang aja? Gue denger-denger pendidikan disana bagus.”

                 “Gue diterima program beasiswa disini. Ibu gue bilang lebih baik diambil. Lagi pula, gue orang Indonesia. Mungkin emang harusnya gue disini,” jawabku. Ia mengangguk tanda setuju. “Wow. Emang keliatan pinter ya. Kalau gue, buat masuk universitas kita sekarang ini harus belajar siang malam buat diterima. Tapi untungnya, semua ngga sia-sia.” Senyuman bangga nampak diwajahnya. Ia terlihat cantik malam ini. Mungkin memang aku menyukainya. “Jadi gimana di Jepang? Udah punya pacar disana?” tanyanya lagi. Aku tertawa dalam hati. Apa ia bercanda? Orang sepertiku? Pacar? Rasanya tidak mungkin. “Ngga semudah itu punya pacar orang Jepang. Jadi ya, gue belum punya pacar. Gue rasa gue ngga tertarik untuk punya.”

                  “Kenapa?” tanyanya lagi sambil meminum minuman yang baru saja datang. “Karena gue ngga merasa hal itu penting.”

                 “Jongga, cinta itu penting.”

                 “Cinta ngga harus ditunjukkin dengan membuat sebuah komitmen dengan seseorang, Ra.”

                 “Terus gimana lo menunjukkan cinta?”

                 Lalu aku terdiam. Tak mampu menjawab pertanyaannya. Selama ini kutunjukkan cintaku pada keluargaku. Namun, bagaimana jika aku sebatang kara? Apa artinya aku tidak punya cinta?