31/12/2014

Siapa Dia?


          Untuk kesekian kalinya, Ibuku memeluk tubuhku hangat. Aroma tubuhnya tertempel di baju rajutku. Aroma sabun dan melati, entah bagaimana dapat menyatu menjadi suatu keselarasan. Aku menarik koperku menjauh. Rasanya aku tak sanggup lagi melihat wajah sedihnya. Apalagi melihat wajah adikku yang ditutupi oleh air mata. Aku ingin bilang pada mereka untuk tak perlu bersedih tentang kepergianku. Namun kubatalkan ucapanku karena aku sendiri merasa berat hati harus meninggalkan mereka.


          Aku melihat temanku, Cheila, melambaikan tangannya agar aku dapat melihatnya. Ia temanku. Sesama pelajar Indonesia yang studi di Jepang. "Jongga!," sahutnya. Aku menghampirinya namun tak menyapanya. Hanya berdiri diam disampingnya. "Pesawatnya bentar lagi boarding, kok. Kita kesana sekarang aja". Ia menarik tanganku dan membawaku serta ke pintu pesawat. Suara roda koper orang-orang mulai membuatku gugup. Sedari dulu aku bukan penggemar pesawat. Segala hal tentang turbulance, take off, dan landing dapat membuatku panik dalam sekejap. Tetapi rasanya tidak mungkin jika aku harus mengendarai mobil atau kendaraan darat lainnya ke Indonesia. Itu pasti membutuhkan waktu yang sangat, amat lama. "Konbawa! Furaito ni notte kangei," sambut salah satu pramugari saat aku melangkah masuk ke pesawat. Aku hanya membalasnya dengan senyuman. Kata-kata yang ingin keluar dari mulutku tertahan oleh rasa gelisah didalam perutku. Aku memasang sabuk pengamanku sedikit lebih kencang. Aku mengusap tanganku dengan ibu jariku dengan gerakan yang sama berulang-ulang untuk menenangkan diriku. Bagaimana jika aku tak diterima di lingkunganku yang baru nanti? Bagaimana jika aku gagal dan harus kembali ke Jepang dengan kesedihan di wajahku? Bagaimana jika nanti aku mengecewakan keluargaku? Aku tak dapat memikirkan hal yang lebih buruk lagi karena pesawat mulai berjalan perlahan. Perlahan tapi pasti. "Cabin crew prepare for take-off," suara sang pilot terdengar diseluruh lorong pesawat. Aku menutup mataku. Berdoa yang terbaik akan segera datang.




*          *          *


          Tangis dan tawa memenuhi Bandara Soekarno-Hatta pagi itu. Aku mengikuti langkah Cheila yang tergesa-gesa. Ia terus menerus sibuk menatap layar handphone-nya. Tampaknya ia sedang menunggu seseorang menjemputnya. "Ga, ini alamat tempat tinggal lo selama di Jakarta. Kalau butuh apa-apa, hubungin gue aja, ya. Gue bareng sama temen gue. Mungkin lo bisa pulang naik taksi," tutur Cheila sambil menyodorkan seberkas kertas padaku. Aku menyergapnya. "Ngerti. Gue juga pernah tinggal di Indonesia, Chel." Ia meninju lenganku main-main. Tawa kecil keluar dari mulutnya. "Gue cuma takut lo nyasar aja, Ga. Tuh, temen gue udah jemput." Seorang gadis seumurannya melambaikan tangan pada kami sambil memamerkan giginya. Cheila segera lari menarik kasar kopernya. Melupakanku yang berdiri disampingnya sedari tadi. Siapa dia?

          Tubuhnya terlihat ramping dengan baju bermotif garis-garis yang dipakainya. Rambutnya yang hitam panjang dibiarkan terurai dibahunya. Berpadu dengan kulitnya yang putih. Ia cukup menawan untuk menarik perhatianku. Kelihatannya ia melihatku memperhatikannya, sehingga aku membuang pandanganku seakan tak peduli. Aku berjalan menjauh ke pangkalan taksi disekitarku. Beruntung bagiku aku sampai pada pagi hari sehingga masih banyak taksi kosong yang siap menampungku. Aku memasuki salah satunya dan memberitahukan tujuanku. Sang supir langsung membawa taksinya melaju keluar bandara. Aku masih memikirkan gadis tadi. Tak kusadari jantungku berdegup cepat. Ada apa denganku?

          Aku merogoh handphone-ku untuk mengirim sebuah pesan singkat. Untuk Cheila.

          'Chel, yang tadi jemput lo itu siapa?' 

          Aku menunggu dan menunggu. Aku terus-menerus melirik keluar jendela. Melihat kemacetan Jakarta yang dari dulu hingga sekarang tak pernah berkurang, malahan bertambah parah. Lalu layar handphone-ku menyala. Pertanda seseorang mengirimiku pesan singkat. Cheila.

          'Itu sahabat lama gue namanya Kaira. Kenapa? Suka, ya? :) :)'

          Sial. Aku memang bukan seorang ahli dalam menyembunyikan perasaanku. Maka dari itu aku lebih memilih diam setiap saat. Walau hal itu kadang membuat orang baru mengira diriku sebagai seseorang yang dingin.

          'Engga, kok. Mau nanya aja.'

          Tak lama setelah aku menekan tombol 'Kirim', balasan dari Cheila datang lagi.

          'Tenang aja. Dia ada di universitas yang sama kayak kita. Malah, Kaira satu jurusan sama lo :)'

          Sesaat setelah kubaca pesan itu, senyuman tergurat diwajahku. Kali ini tak dapat kusembunyikan perasaanku. Tak sabar aku menunggu hari Senin untuk datang. Hari pertamaku kuliah. Mungkin harus kuganti perasaan pesimisku dengan rasa optimis. Mungkin, mungkin saja, ini merupakan sesuatu yang indah. Kita lihat saja. 



          

16/12/2014

Apa Itu Cinta?


            Suara sayup-sayup burung gagak masih terdengar di telinga. Langit musim panas masih benderang, walau waktu sudah menunjukkan pukul tujuh malam. Sudah lima tahun semenjak kepindahan kami ke Jepang. Namun aku masih belum mampu untuk menerima perbedaan yang ditawarkan negara ini. Bagaimana kebutuhan sehari-hari bergantung pada mesin-mesin yang berjejer di jalanan. Bagaimana Jepang selalu memberikan kejutan di setiap pergantian musim setiap bulannya. Atau keramaian dan kesibukan orang-orangnya di pagi hari. Jepang memang indah, tetapi hatiku ini milik Indonesia, tempat kelahiranku.

            Satu-satunya alasan aku enggan untuk kembali, adalah sosok ayahku yang sampai saat ini menjadi trauma masa kecilku. Pada awalnya, ia memang terlihat seperti ayah yang selalu aku idam-idamkan. Aku selalu menggores krayon dengan jari-jari kecilku dan membentuk sosok dirinya jika guru disekolahku menanyakan siapa idola kami. Seorang tentara dengan gelar jendral. Tak kusadari kelamaan profesinya itu memberikanku sebuah gambaran tentang masa depanku. Aku ingin menjadi sepertinya.

            Lalu semua itu berubah, dalam waktu yang begitu singkat. Ibu seringkali berkelahi dengan Ayah pada malam hari. Berharap aku dan adik perempuanku tidak akan mendengarnya. Salah. Aku selalu mendengar mereka berkelahi tentang hal yang waktu itu belum kumengerti. Perselingkuhan, alkohol, dan uang. Sejak itu, ibu lebih sering terdiam. Dan aku tahu, diamnya itu karena beliau sudah lelah. Ia tersakiti.

            Ia memutuskan untuk meninggalkan ayahku, lelaki yang dulu ia kira ia tak akan mampu mengecewakannya. Lalu Ibu mulai mencari pekerjaan untuk menghidupi dirinya. Untuk menghidupi aku dan adikku. Dengan kemampuannya berbahasa Jepang, ia mendapatkan pekerjaan di negeri sakura ini. Sejak saat itulah kami bertiga hijrah dan tak pernah menoleh ke belakang lagi. Kami memulai semuanya dari awal.

            Aku masih berjalan-jalan di kawasan Nagoya. Menikmati keramaian dan melihat-lihat pajangan dari balik jendela toko yang berderet lurus seperti tak berujung. Aku memegang amplop putih yang sedari tadi kugenggam. Amplop dengan nama 'Jongga Darmawan' tertera diatasnya. Namaku. Amplop yang membuat hatiku sedari tadi gundah. Sebuah tawaran dari Indonesia untukku pulang. Beasiswa penuh untukku melanjutkan S1. Negeriku ingin aku kembali. Namun apa aku mampu meninggalkan keluargaku disini? Apa mampu aku membiarkan ibu dan adik perempuanku sendiri? Tanda tanya itu masih melayang-layang di anganku. Haus akan jawaban yang masih entah ada dimana. Aku putuskan untuk duduk sejenak sesaat setelah aku merasakan rasa sakit di tumitku. Diseberangku, kulihat sepasang muda-mudi duduk bersebelahan sambil bersuap seporsi takoyaki. Mereka bercanda tawa, seakan dunia milik mereka sendiri. Mereka terlihat bahagia. Apa itu cinta?

            Aku menertawakan pikiranku sendiri. Omong kosong soal cinta. Cinta itu tak pernah ada. Cinta itu hanya sebuah kata dalam cerita dongeng yang wujudnya fiksi. Selama ini manusia hanya dibohongi oleh manusia lain yang mengarang-ngarang soal perasaan yang diberi nama cinta. Yang kutahu, cinta itu tak pernah ada. Yang ada hanyalah rasa tertarik dan nafsu belaka. Ayahku selalu mengatakan ia mencintai ibuku. Tetapi ia tak akan pernah menyakiti ibuku jika ia benar-benar mencintainya. Dan ibuku tak akan mampu meninggalkan ayahku jika ia benar-benar mencintainya. Mereka tak mungkin berpisah jika cinta itu memang ada. Semua itu bukan cinta. Semua itu hanya nafsu belaka.

            Tanpa kusadari aku sudah berjalan terlalu lama. Langit sudah mulai kehilangan cahayanya. Sudah saatnya aku pulang. Bukan kerumah. Melainkan ke kampung halamanku yang sebenarnya. Untuk memulai hidupku ini. Siapa tahu, aku mendapatkan jawaban dari keingintahuanku akan sosok cinta.

            Tunggu aku, Indonesia. Aku pulang.

01/12/2014

December 1st, 2014

Purnama dalam warna kelabu

Berpendar terang diatas langit Minggu

Setiap malam kunanti dirimu

Sesak hati dengan rasa rindu

Walau pikiran merasa jemu

Walau hadirmu itu semu

Walau tumbuh rasa ragu

Aku akan selalu menunggu

Menunggu saat nanti bertemu Ibu

Selalu



Selamat Ulang Tahun, Ibu