Untuk kesekian kalinya, Ibuku memeluk tubuhku hangat. Aroma tubuhnya tertempel di baju rajutku. Aroma sabun dan melati, entah bagaimana dapat menyatu menjadi suatu keselarasan. Aku menarik koperku menjauh. Rasanya aku tak sanggup lagi melihat wajah sedihnya. Apalagi melihat wajah adikku yang ditutupi oleh air mata. Aku ingin bilang pada mereka untuk tak perlu bersedih tentang kepergianku. Namun kubatalkan ucapanku karena aku sendiri merasa berat hati harus meninggalkan mereka.
Aku melihat temanku, Cheila, melambaikan tangannya agar aku dapat melihatnya. Ia temanku. Sesama pelajar Indonesia yang studi di Jepang. "Jongga!," sahutnya. Aku menghampirinya namun tak menyapanya. Hanya berdiri diam disampingnya. "Pesawatnya bentar lagi boarding, kok. Kita kesana sekarang aja". Ia menarik tanganku dan membawaku serta ke pintu pesawat. Suara roda koper orang-orang mulai membuatku gugup. Sedari dulu aku bukan penggemar pesawat. Segala hal tentang turbulance, take off, dan landing dapat membuatku panik dalam sekejap. Tetapi rasanya tidak mungkin jika aku harus mengendarai mobil atau kendaraan darat lainnya ke Indonesia. Itu pasti membutuhkan waktu yang sangat, amat lama. "Konbawa! Furaito ni notte kangei," sambut salah satu pramugari saat aku melangkah masuk ke pesawat. Aku hanya membalasnya dengan senyuman. Kata-kata yang ingin keluar dari mulutku tertahan oleh rasa gelisah didalam perutku. Aku memasang sabuk pengamanku sedikit lebih kencang. Aku mengusap tanganku dengan ibu jariku dengan gerakan yang sama berulang-ulang untuk menenangkan diriku. Bagaimana jika aku tak diterima di lingkunganku yang baru nanti? Bagaimana jika aku gagal dan harus kembali ke Jepang dengan kesedihan di wajahku? Bagaimana jika nanti aku mengecewakan keluargaku? Aku tak dapat memikirkan hal yang lebih buruk lagi karena pesawat mulai berjalan perlahan. Perlahan tapi pasti. "Cabin crew prepare for take-off," suara sang pilot terdengar diseluruh lorong pesawat. Aku menutup mataku. Berdoa yang terbaik akan segera datang.
* * *
Tangis dan tawa memenuhi Bandara Soekarno-Hatta pagi itu. Aku mengikuti langkah Cheila yang tergesa-gesa. Ia terus menerus sibuk menatap layar handphone-nya. Tampaknya ia sedang menunggu seseorang menjemputnya. "Ga, ini alamat tempat tinggal lo selama di Jakarta. Kalau butuh apa-apa, hubungin gue aja, ya. Gue bareng sama temen gue. Mungkin lo bisa pulang naik taksi," tutur Cheila sambil menyodorkan seberkas kertas padaku. Aku menyergapnya. "Ngerti. Gue juga pernah tinggal di Indonesia, Chel." Ia meninju lenganku main-main. Tawa kecil keluar dari mulutnya. "Gue cuma takut lo nyasar aja, Ga. Tuh, temen gue udah jemput." Seorang gadis seumurannya melambaikan tangan pada kami sambil memamerkan giginya. Cheila segera lari menarik kasar kopernya. Melupakanku yang berdiri disampingnya sedari tadi. Siapa dia?
Tubuhnya terlihat ramping dengan baju bermotif garis-garis yang dipakainya. Rambutnya yang hitam panjang dibiarkan terurai dibahunya. Berpadu dengan kulitnya yang putih. Ia cukup menawan untuk menarik perhatianku. Kelihatannya ia melihatku memperhatikannya, sehingga aku membuang pandanganku seakan tak peduli. Aku berjalan menjauh ke pangkalan taksi disekitarku. Beruntung bagiku aku sampai pada pagi hari sehingga masih banyak taksi kosong yang siap menampungku. Aku memasuki salah satunya dan memberitahukan tujuanku. Sang supir langsung membawa taksinya melaju keluar bandara. Aku masih memikirkan gadis tadi. Tak kusadari jantungku berdegup cepat. Ada apa denganku?
Aku merogoh handphone-ku untuk mengirim sebuah pesan singkat. Untuk Cheila.
'Chel, yang tadi jemput lo itu siapa?'
Aku menunggu dan menunggu. Aku terus-menerus melirik keluar jendela. Melihat kemacetan Jakarta yang dari dulu hingga sekarang tak pernah berkurang, malahan bertambah parah. Lalu layar handphone-ku menyala. Pertanda seseorang mengirimiku pesan singkat. Cheila.
'Itu sahabat lama gue namanya Kaira. Kenapa? Suka, ya? :) :)'
Sial. Aku memang bukan seorang ahli dalam menyembunyikan perasaanku. Maka dari itu aku lebih memilih diam setiap saat. Walau hal itu kadang membuat orang baru mengira diriku sebagai seseorang yang dingin.
'Engga, kok. Mau nanya aja.'
Tak lama setelah aku menekan tombol 'Kirim', balasan dari Cheila datang lagi.
'Tenang aja. Dia ada di universitas yang sama kayak kita. Malah, Kaira satu jurusan sama lo :)'
Sesaat setelah kubaca pesan itu, senyuman tergurat diwajahku. Kali ini tak dapat kusembunyikan perasaanku. Tak sabar aku menunggu hari Senin untuk datang. Hari pertamaku kuliah. Mungkin harus kuganti perasaan pesimisku dengan rasa optimis. Mungkin, mungkin saja, ini merupakan sesuatu yang indah. Kita lihat saja.