06/08/2014

Hey Jude

                ‘Selepas kuliah ini, aku benar-benar harus istirahat,’ pikir Lucy sesaat sesudah sang dosen mengakhiri kelas neurologi hari itu. Sesuai keinginan orang tuanya,  ia mengambil kuliah dengan jurusan kedokteran. Cukup sulit dan memang memakan waktu lama. Namun biologi merupakan salah satu kecintaan Lucy pada saat ia masih duduk di bangku sekolah menengah atas. Dan untungnya, ia hampir menyelesaikan gelar dokter umumnya. Mungkin sekitar 4 bulan lagi. Alasan Lucy menyetujui orang tuanya untuk mempelajari ilmu kedokteran cukup sederhana; ini merupakan salah satu wujud syukur atas ciptaan Yang Maha Kuasa. Dan dalam profesinya, dokter berperan besar dalam menentukan penyakit dan kelainan seseorang dan dengan sigap mengobatinya. Sejak dulu, Lucy selalu mencari cara untuk membantu orang lain yang kesusahan. Namun dulu ia belum memiliki kemampuan apapun untuk membantu orang lain. Ia hanya membantu orang tuanya menyalurkan bantuan ke rumah-rumah yatim piatu. Dan dengan kemampuannya sekarang, ia dapat lebih mudah membantu orang lain tanpa harus merepotkan orang tuanya.

            Dengan dibebani buku-buku yang cukup tebal di bahunya, Lucy berjalan menuju keluar kampus.Matahari sudah senja. Mencampur alunan warna biru dan jingga menjadi harmoni di langit nun jauh disana. Suara panggilan untuk menghadap Sang Maha Kuasa pun sudah berkumandang dimana-mana. Lucy melirik jam tangan biru di tangan kirinya dan memutuskan untuk mencari masjid terdekat sebelum mengantar dirinya pulang. Untung saja ia bergerak cukup cepat untuk mengejar sembahyang berjamaah. Masjid pun sedang tidak begitu ramai, sehingga tidak mengharuskan ia untuk berdesakan dengan orang-orang asing lainnya. Seusai sembahyang, Lucy berdiam diri sejenak dan berdoa. Ia mengucap doa yang sama seperti yang ia ucapkan sejak dulu. ‘Tuhan, berikanlah yang terbaik untukku dan untuk orang-orang disekitarku. Jika yang kuterima ini dirasa bukan yang terbaik untukku, padahal itulah yang terbaik yang kau berikan untukku, maka berikanlah aku kekuatan untuk menerima dan menafsirkan realita. Amin.’ Tak luput juga ia mendoakan orang tuanya dan keselamatannya di dunia dan di akhirat. Lalu Lucy berdiri, menelepas mukena dan melipatnya rapi sebelum memasukkannya kedalam tasnya.

            Ia akhirnya berjalan pulang menuju halte bis didekat kampusnya. Namun, ada yang aneh. Tampak rasanya ada seseorang yang mengikuti langkah Lucy yang tidak buru-buru itu. Ia menoleh kekanan dan kekiri. Masih banyak orang disekitarnya, jaga-jaga jika seseorang yang dirasanya mengikutinya ini membahayakan dirinya. Ia mulai mengingat-ingat ilmu aikido yang dahulu pernah ia pelajari sewaktu sekolah menengah atas. Dengan gelarnya yang sudah mencapai Dan I, ia tak akan membuat orang yang mengikutinya ini merasa menang atas rasa takut Lucy. Ia mulai mengambil langkah cepat, dan didengarnya langkah orang yang dibelakangnya mengikuti irama langkahnya. ‘Orang ini benar-benar mengikutiku!’ pikirnya. Lalu Lucy memutuskan bahwa ia akan memergoki orang ini sedang mengikutinya. Sesaat sebelum ia akan menyebrang ke halte bis, ia mendadak menghentikan langkahnya dan berbalik badan. Lantas orang yang dibelakangnya itu menabraknya dan hampir membuatnya terjatuh. Namun orang itu juga cekatan. Dengan tangannya ia mencengkram bahu Lucy untuk menahannya tidak terjatuh. Lucy menyadari bahwa itu adalah sepasang tangan lelaki. Lalu ia memberanikan diri untuk menatap wajah lelaki itu.

“Jude? Ini kamu?” ucap Lucy kaget.

            “Jadi benar ini kamu.” Jude melepaskan cengkramannya dan membiarkan Lucy berdiri terpaku dihadapannya. “Maaf jika aku menakutkanmu. Aku sudah menduga itu kamu. Tapi aku kurang yakin. Dan aku tak ingin menyapa orang yang salah. Maka aku putuskan untuk mengikutimu dulu,” jelasnya. Dilihatnya pemuda dengan postur gagah berdiri dihadapannya mengenakan kaos biru tua dan jeans. Ini benar Jude.

            “Apa yang kau lakukan disini? Bukannya kamu menuntut ilmu di Australia?” tanya Lucy, masih merasa bingung dan kaget.

            “Aku baru saja menyelesaikan sekolah memasakku disana. Aku ingin menambah ilmu bisnis disini. Orang tuaku pun ingin aku tidak kuliah jauh-jauh lagi dari mereka,” lalu Jude berhenti sejenak dan melanjutkan perkataannya, “Lucy, ini sudah hampir malam. Apa tidak seharusnya kita pergi ke suatu tempat untuk berbincang? Sudah lama aku tak bertemu denganmu. Aku merindukanmu.” Lucy yang masih tak percaya dengan pertemuannya dengan Jude hanya diam bergeming hingga akhirnya ia mengangguk pelan. “Tapi jangan terlalu larut. Aku ada tes untuk besok.” Lalu, sepasang manusia yang lama tak bertemu itu melesat pergi ke kedai kopi terdekat.

            Lucy memesan green tea latte untuk menyegarkan pikirannya. Ia ingat ia pernah diberitahu oleh ibunya bahwa teh hijau dapat membantu tubuhnya agar tidak mudah kelelahan. Lucy butuh sesuatu yang seperti itu saat ini. Sedangkan Jude memesan passion fruit dengan balok-balok es yang mengambang diantaranya. Sangat tidak cocok dengan cuaca malam itu yang dingin. Mereka memutuskan untuk duduk didekat jendela. Sang Bulan yang kedinginan ditiup angin, memilih gumpalan awan tebal sebagai selimutnya. Membuatnya bagaikan mutiara yang menggantung diantara kelamnya langit. Sambil menyeruput minumanny, Lucy mencoba untuk memecah balok es tak kasat mata diantara mereka. “Jadi, apa yang kamu lakukan di kampusku tadi?”

Ia memutar-mutar sedotannya dengan pola gerakan yang sama. Tak melepaskan pandangannya dari minumannya. “Aku memang sedang mencari-cari universitas untuk sekolah bisnisku. Lima hari terakhir ini hanya aku habiskan dengan pertemuan keluarga lagi, lagi, dan lagi. Tak ada salahnya aku memulainya dari sini,” ia berhenti sejenak, lalu melanjutkan, “Dan beberapa hari sebelum penerbanganku ke Indonesia, aku sibuk membolak-balik lagi buku tahunanku dan mencari teman-teman lama yang masih bisa dihubungi. Lalu aku berhasil menghubungi Rama. Kau ingat Rama, kan? Lelaki yang mengalahkanmu di seleksi olimpiade sains dulu.”

Lucy mengangguk. Masih tersimpan dipikirannya tentang lelaki yang dimaksud Jude. Rama. Saat itu Lucy masih duduk dikelas sebelas. Sekolahnya memutuskan untuk mengikutsertakan diri pada suatu olimpiade sains tingkat nasional. Dan setelah mengalami seleksi ketat, akhirnya tersisa Lucy dan Rama. Rasanya Lucy telah belajar keras berminggu-minggu yang lalu. Tetapi itu semua tidak pernah cukup. Rama yang pada akhirnya mewakilkan sekolahnya untuk olimpiade sains itu. Lucy pulang dengan perasaan yang cukup sedih. Namun setelah pemikiran panjang, kejadian tersebut memberikan Lucy pelajaran bahwa tak pernah ada salahnya untuk mencoba dan gagal. Tak selamanya hidup itu memberikan apa yang kita mau.

“Aku berhasil menghubunginya dan kuketahui bahwa ia sekarang berada di universitas di Yogyakarta. Lalu aku menanyakannya tentang dirimu.” Lucy tersentak diam. Jude kemudian menatap matanya itu. Tatapan itu tak pernah berubah sejak dulu. Masih seperti yang diingat Lucy. Bahkan bekas luka yang membekas di dahi Jude, masih ada di tempatnya. Masih membekas sebagai ciri khasnya. Hal yang dulu sempat dianggap Lucy menarik.

“Kami akan membawakan suatu lagu dari salah satu band favorit saya, The Beatles!” Vokalis dari live music di kedai kopi malam itu kemudian menyanyikan lagu ‘Hey Jude’ yang menurut Lucy, dibawakan dengan indah. The Beatles memang sudah menjadi salah satu kelompok musisi favorit Lucy. Dan Jude.

“Aku masih ingat saat dulu setiap kita berdua mendengar lagu ini atau lagu ‘Lucy in the Sky with Diamonds’, kita selalu berpikir bahwa The Beatles memang sengaja membuatkan lagu ini untuk kita. Bahwa memang seharusnya kita itu, entah bagaimana, walau dipisah oleh sebuah dimensi lain, akan tetap dipertemukan lagi dan lagi.”

“Orang tua kita berdua memang menyukai The Beatles, Jude. Dan kita berdua ini memang korban dari para orang tua yang adalah penggemar berat dari kelompok musisi legendaris sepanjang masa. Dan untuk bertemu denganmu, kurasa memang hanya sebuah kebetulan,” tutur Lucy. Green tea latte yang sedari tadi diminumnya, kini telah menunjukkan dasarnya. Ia mendesak untuk membeli secangkir lagi. Ia rasa ia tak mampu menjalankan suatu percakapan tanpa secangkir minuman atau seporsi makanan didepannya. Bukan karena ia lapar. Melaikan Lucy tak biasa dengan orang asing. Jadi makanan atau minuman yang berada dihadapannya itu beralih fungsi dari sesuatu untuk mengganjal perut menjadi objek untuk menghindari kontak mata yang canggung. Sedangkan Jude memutuskan untuk membeli seporsi kue mangkuk vegetarian.

“Kau tahu, aku tak pernah percaya dengan kebetulan. Semua itu memang sudah tertulis sejak dulu. Masa kau tidak percaya dengan takdir?” Ia bertanya pada Lucy, heran.

“Yang aku percaya, takdir itu tiap individu itu sendiri yang menentukan. Bagaimana jika dibuku takdir itu tertulis kau akan memesan kue mangkok rasa coklat dengan taburan coklat keping diatasnya namun pada akhirnya kau memilih untuk menyuap kue mangkok vegetarian yang rasanya mungkin sama buruknya dengan kue gagal buatan ibuku hanya untuk menjaga bentuk badanmu itu. Kuperhatikan tadi kau mencengkamku cukup kuat. Angkat beban?” Jude tertawa mendengar Lucy berceloteh ria. Kelompok musik yang tampil malam itu membawakan lagu-lagu yang cukup meriah. Membuat Jude tergelitik untuk menggoda Lucy lagi dan lagi. ‘Ia masih sama seperti dulu. Menggemaskan,’ pikir Jude.

“Sebenarnya aku mengidap diabetes sejak aku pindah ke Australia. Aku harus menjaga makananku dengan mengkonsumsi makanan organik dan vegetarian. Dan ya, rasanya memang buruk sekali.” Lucy tertawa dan menatap Jude dengan tatapan sudah-kuduga-itu. “Lalu dokter menyarankan untuk meningkatkan waktu latihanku di pusat kebugaran. Ya, kurang lebih hasilnya begini.” Jude memamerkan tangannya yang lumayan berotot layaknya ia seorang binaragawan di sampul majalah. “Akhirnya akan kulihat seorang chef dengan badan atletis. Bukan chef yang bertubuh gempal dengan pisau ditangan kanannya. Membuatku memiliki gambaran bahwa ia tukang makan yang sebenarnya adalah psikopat lihai dan bersiap untuk membunuhku.” Jude tertawa sekali lagi. Lucy memang selalu dikenal dengan selera humornya yang tinggi. Hal itu juga yang membuatnya rindu kepada gadis berambut ikal itu.

Jam menunjukkan pukul 10 malam. Lucy sudah menyeruput habis minumannya dan ia tahu sudah saatnya untuk pulang. Ia harus mempersiapkan diri untuk besok. Neurologi adalah salah satu kelemahannya dalam kelas kedokteran. “Aku harus pulang.” Jude menunjukkan wajah sedih dan kecewa. Tapi ia tahu bahwa ia tak dapat mencegahnya untuk pergi. Menjadi mahasiswa di bidang kedokteran memang sangat menyita waktu. Tapi tak ada salahnya mencoba. “Tak bisa tinggal sebentar lagi? Aku masih menikmati pertemuan kita.” Lucy mulai mengemas barangnya. Buku-bukunya yang tebal disandangnya lagi di lengannya. “Kau tahu aku harus pulang, Jude. Mungkin lain waktu.” Jude berdiri mengikuti Lucy yang mulai berjalan dengan langkah cepat kearah pintu keluar. “Besok?” Jude bertanya, mencegat Lucy untuk keluar. Lucy menghela nafas panjang.

“Jude, aku tak ingin kita mencoba lagi menjalin tali-tali hubungan kita yang memang seharusnya sudah terpisah. Tak ada gunanya lagi membuang waktu dan tenaga untuk mencoba menjalinnya kembali. Aku pun sebenarnya juga merindukanmu, Jude. Namun aku tak dapat melupakan saat dimana kau pergi dan menghilang begitu saja tanpa kabar sedikitpun. Aku disini merindukanmu. Bertanya-tanya tentang dirimu. Menanti kapan orang yang kusayangi ini akan hadir disampingku saat pagi hari dan menjadi orang yang pertama kutatap matanya. Aku menanti kapan telepon genggamku akan dipenuhi dengan pesan singkat darimu yang berisi tentang dirimu yang juga merindukanku dan menanti kapan kita akan dipertemukan lagi oleh Sang Waktu. Namun, semua itu hanya khayalku. Dan memang bukan tugas Sang Takdir untuk membuatku bahagia. Maka dari itu aku mencoba untuk membuat diriku sendiri bahagia. Tak ada gunanya mengandalkan takdir. Lebih baik aku mencoba untuk menulis takdirku sendiri. Dan pada kenyataannya, cahaya surya yang setiap pagi masuk menumbus jendela kamarku dan menatap mataku untuk pertama kalinya. Dan telepon genggamku hanya berisi pesan singkat dari operator dan beberapa pesan penipuan yang mengatasnamakan orang tuaku yang meminta kiriman uang.”


“Lucy. . .” Sebelum Jude melanjutkan kalimatnya, Lucy melanjutkan ucapannya, “Lalu kudengar kau menemukan gadis lain untuk ditatap matanya dan untuk dicintai. Pelajar asal Indonesia juga, bukan? Ya, aku tahu. Pada saat itu, rasanya hatiku bagai ditusuk oleh serpihan kayu. Memang hanya serpihan, namun sakitnya luar biasa. Lalu aku mencoba untuk mengikuti arus kehidupan yang mengalir terus menerus tanpa henti. Aku memutuskan untuk pergi dari masa lalu, Jude. Aku memutuskan untuk pergi dari dirimu yang semu di hidupku. Dan kupikir itu cukup menjelaskan semua.” Lucy melangkah pergi dengan cekatan. Meninggalkan Jude yang terpaku dalam perasaan kaget bercampur sedih diambang pintu kedai kopi. “Lagu ini akan menutup jumpa kita malam ini. Kami ucapkan terima kasih!” Live music mulai memainkan lagu The Scientist yang aslinya dibawakan oleh grup musik asal Inggris bernama Coldplay. Lagu yang pas untuk Jude yang sedang dirudung rasa menyesal. Gadis yang seharusnya berada didekapannya, kini serasa berada jauh diujung dunia. Dan hanya satu yang Jude inginkan saat itu. Kembali ke masa lalu dan memperbaiki semuanya. Agar Lucy pun mengerti bahwa hanya dirinyalah yang ada dihati Jude. Namun, ia tahu semua itu hanya angan semata. Lucy telah pergi.