16/07/2014

Yang Sekian

          Pikiranku saat ini: memakai sepatu hak tinggi itu sungguh menyakitkan. Aku tak cukup mengerti mengapa wanita dengan senang hati menyakitkan diri mereka sendiri dengan berdiri berjam-jam dengan balutan hak tinggi hanya untuk sekadar membahagiakan perspektif orang lain.

‘Apa yang aku lakukan disini?’

Dengan mengenakan baju terusan hitam yang memeluk tubuhku cukup ketat, rambut tertata rapi, tatanan riasan yang cukup tebal, dan sepasang hak tinggi. Diriku yang sesungguhnya lebih memilih untuk memakai kaos yang ukurannya lebih besar dari ukuran tubuhku dan celana jeans gelap. Ditambah lagi dengan kerumunan orang yang berlalu-lalang kesana-kemari. Tertawa dan berbincang sembari mengunyah makanan yang porsinya sengaja dipesan sedikit untuk tetap menjaga lekuk perut mereka yang sangat sempurna dibandingkan dengan milikku. Aku terasa asing. Untuk sesaat rasanya aku mengerti bagaimana rasanya menjadi seorang alien.

            Ibuku yang memaksaku menginjak kaki disini. Dengan harapan aku dapat mengobati ansietas sosialku yang kian lama kian parah. Aku lebih memilih mengurung diri di kamarku hanya untuk membaca setumpuk buku daripada harus bersosialisasi dengan dunia luar. Ya, aku memang lebih mencintai buku daripada manusia. Walaupun keduanya dapat membuatku menitikan air mata sama parahnya, tapi setidaknya buku dapat membawaku ke dunia lain yang hanya ada di dalam imajiku. Di buku, aku dapat dengan mudahnya membaca akhir dari kisahnya. Namun pada manusia, aku harus menerka sedemikian rupa untuk mengetahui dirinya, masa lalunya dan sifat-sifatnya. Beberapa orang pun memang sulit ditebak.

            Tapi aku gadis yang nyaris beranjak dewasa, ibuku khawatir aku akan menjadi seorang anti-sosial yang tak memiliki teman seorang pun. Yang malahan kusukai karena terlalu banyak berhubungan dan membuat ikatan dengan orang asing merupakan tindakan yang beresiko tinggi. Aku bisa saja dilukai, dibohongi, dikhianati, ditipu, atau tindakan mengerikan lainnya yang dapat mereka lakukan padaku. Lalu setelah itu, ibuku menatapku dalam-dalam dan berkata,

            “Nak, kamu hidup di dunia ini tidak sendiri. Masih banyak jutaan orang diluar sana yang belum sedikitpun kau sentuh jalur kehidupannya. Masih banyak yang entah bagaimana membutuhkan eksistensimu di dunia ini. Kamu hanya tidak sadar saja, seberapa banyak orang yang ingin masuk kedalam buku cerita kehidupanmu itu. Kamu itu menyenangkan. Kamu itu dapat memberikan senyuman layaknya lekuknya pelangi yang dengan mudahnya membuat lekuk di bibir kita. Kita hidup di masa kini, bukan masa lalu. Jika masa lalu menyakitkanmu, sadarlah bahwa kau berada di masa kini dan sedang bergerak ke masa depan. Mengapa tidak sekali-kali kau berikan orang lain kesempatan?”

           Ibuku hanya tidak tahu, aku sudah terlalu banyak memberikan kesempatan pada orang asing untuk ikut menulis dalam buku cerita hidupku. Dan seberapa banyak orang yang menyia-nyiakan kesempatan itu dan akhirnya mencorat-coret dan merobek halaman demi halaman buku cerita hidupku itu. Aku sudah terlanjur hancur.