Pikiranku
saat ini: memakai sepatu hak tinggi itu sungguh menyakitkan. Aku tak cukup
mengerti mengapa wanita dengan senang hati menyakitkan diri mereka sendiri
dengan berdiri berjam-jam dengan balutan hak tinggi hanya untuk sekadar membahagiakan
perspektif orang lain.
‘Apa yang aku lakukan
disini?’
Dengan mengenakan baju terusan hitam yang memeluk tubuhku
cukup ketat, rambut tertata rapi, tatanan riasan yang cukup tebal, dan sepasang
hak tinggi. Diriku yang sesungguhnya lebih memilih untuk memakai kaos yang
ukurannya lebih besar dari ukuran tubuhku dan celana jeans gelap. Ditambah lagi dengan kerumunan orang yang
berlalu-lalang kesana-kemari. Tertawa dan berbincang sembari mengunyah makanan
yang porsinya sengaja dipesan sedikit untuk tetap menjaga lekuk perut mereka
yang sangat sempurna dibandingkan dengan milikku. Aku terasa asing. Untuk
sesaat rasanya aku mengerti bagaimana rasanya menjadi seorang alien.
Ibuku yang memaksaku menginjak kaki
disini. Dengan harapan aku dapat mengobati ansietas sosialku yang kian lama
kian parah. Aku lebih memilih mengurung diri di kamarku hanya untuk membaca
setumpuk buku daripada harus bersosialisasi dengan dunia luar. Ya, aku memang
lebih mencintai buku daripada manusia. Walaupun keduanya dapat membuatku
menitikan air mata sama parahnya, tapi setidaknya buku dapat membawaku ke dunia
lain yang hanya ada di dalam imajiku. Di buku, aku dapat dengan mudahnya
membaca akhir dari kisahnya. Namun pada manusia, aku harus menerka sedemikian
rupa untuk mengetahui dirinya, masa lalunya dan sifat-sifatnya. Beberapa orang
pun memang sulit ditebak.
Tapi aku gadis yang nyaris beranjak
dewasa, ibuku khawatir aku akan menjadi seorang anti-sosial yang tak memiliki
teman seorang pun. Yang malahan kusukai karena terlalu banyak berhubungan dan
membuat ikatan dengan orang asing merupakan tindakan yang beresiko tinggi. Aku
bisa saja dilukai, dibohongi, dikhianati, ditipu, atau tindakan mengerikan
lainnya yang dapat mereka lakukan padaku. Lalu setelah itu, ibuku menatapku dalam-dalam
dan berkata,
“Nak, kamu
hidup di dunia ini tidak sendiri. Masih banyak jutaan orang diluar sana yang
belum sedikitpun kau sentuh jalur kehidupannya. Masih banyak yang entah
bagaimana membutuhkan eksistensimu di dunia ini. Kamu hanya tidak sadar saja,
seberapa banyak orang yang ingin masuk kedalam buku cerita kehidupanmu itu.
Kamu itu menyenangkan. Kamu itu dapat memberikan senyuman layaknya lekuknya
pelangi yang dengan mudahnya membuat lekuk di bibir kita. Kita hidup di masa
kini, bukan masa lalu. Jika masa lalu menyakitkanmu, sadarlah bahwa kau berada
di masa kini dan sedang bergerak ke masa depan. Mengapa tidak sekali-kali kau
berikan orang lain kesempatan?”